Pemerintahan Megawati tampaknya memiliki komitmen yang sangat kuat untuk memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Ini ditunjukkan dengan penyusunan buku putih Sistem Informasi Nasional Sebagai Tulang Punggung Penerapan e-Government yang sedang dikerjakan oleh Kantor Menteri Negara Komunikasi dan Informasi (KMNKI)
Menurut Deputi Bidang Jaringan Informasi KMNKI, Ir. R. Cahyana Ahmadjayadi, ketika meresmikan pembentukan KMNKI, Presiden Megawati menekankan bahwa ICT merupakan salah satu faktor pemungkin (enabler) bagi berbagai macam permasalahan yang sedang dihadapi bangsa ini. Dengan membentuk KMNKI, pemerintahan Megawati tidak hanya memiliki political will dalam memanfaatkan TI, tapi juga political commitment.
Masalahnya, kemudian adalah bagaimana menerjemahkannya ke dalam political action dan lead action untuk seluruh jajaran birokrasi di pusat dan daerah. Paling tidak jajaran birokrasi di negeri ini bisa dipacu dan diarahkan pada satu titik, yaitu ICT sebagai enabler. Enabler untuk memecahkan sebagian atau seluruh masalah yang sedang dihadapi bangsa ini. “Termasuk juga sebagai perekat elektronis bagi bangsa ini. Tugas inilah yang kemudian menjadi tanggung jawab KMNKI.
Untuk itu, sebagai Country Information Officer KMNKI diharuskan untuk menyiapkan sebuah konsep pengembangan Sistem Informasi Nasional (Sisfonas). Tidak mudah untuk menyusun kerangka konseptual yang akan memuat konsep-konsep pengembangan cetak biru Sisfonas. Ini disusul dengan pengembangan cetak biru Sisfonas yang memuat rancang bangun Sisfonas secara global dan menyeluruh sebagai acuan teknis bagi setiap instansi dan lembaga untuk mengembangkan cetak biru sistem informasi masing-masing. Menurut Cahyana, Sisfonas pada dasarnya merupakan pengelolaan informasi di seluruh sektor dan tingkatan pemerintah secara sistematis dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat. Untuk mewujudkannya, maka “e-Government yang akan menjadi lokomotif bagi keseluruhan sisfonas,” ujarnya.
Lantas seperti apa e-Government? Harus diakui bahwa ketidak-adaan acuan mengenai apa dan bagaimana sebenarnya e-government membuat sedemikian bebasnya pengimplementasiannya. Akibatnya, tercipta begitu banyak pulau-pulau website dan email address dari beragam lembaga pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Ini ditambah lagi dengan beragamnya sistem yang dipergunakan dan dimiliki oleh setiap instasi atau lembaga yang cenderung mengarah pada system chaos. Menurutnya, sekalipun sudah berlaku otonomi daerah, tapi tidak berarti semuanya menjeda kewenangan masing-masing daerah. Ia mengingat bahwa dalam bidang-bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, agama, peradilan dan fiskal; pemerintah pusat masih berwenang.
Sementara progresifitas dari banyak pemerintah daerah diwujudkan dengan kepemilikan website dan email address. Padahal menurut Cahyana, e-Government bukan website yang memuat informasi potensi daerah ditambah e-mail. Ia mendefinisikan e-Government sebagai penyelenggaraan pemerintahan berbasis elektronik (Teknologi Informasi) untuk meningkatkan kinerja pemerintah dalam hubungannya dengan masyarakat, komunitas bisnis dan kelompok terkait lainnya menuju good governance. “Jadi ada nilai-nilai baru seperti keterbukaan, sistematisasi dan efisiensi yang harus disemaikan,” jelasnya.
I before E
Untuk bisa mewujudkan e-Government, mau tidak mau dan suka tidak suka, integrasi sistem menjadi prioritas awal guna memulainya. “I before e, itu rumusnya,” kata Cahyana. Artinya diperlukan prakondisi ideal untuk mempersiapkan infrastruktur sebelum melangkah diterapkannya e-Government itu sendiri.
Untuk bisa mencapai hal itu diperlukan penciptaan kondisi ideal, paling tidak minimal. Ini meliputi pertama integrasi sistem. Integrasi sistem ini mencakup seluruh infrastruktur sistem informasi, baik jaringan, infrastruktur informasi (content) maupun aplikasi yang dipergunakan. Namun integrasi bukan berarti seluruh sistem yang akan dibangun harus menggunakan platform yang sama, tapi bisa bekerja sama secara simultan dan terintegrasi secara proses bisnis sekalipun dengan platform berbeda.
Kunci kedua adalah restrukturisasi data nasional yang mencakup integrasi struktur data yang selama ini telah menjadi hak milik (proprietary) dari masing-masing lembaga agar dapat digunakan secara bersama-sama dalam batas kewenangan tertentu, sekaligus menetapkan data-data primer yang bersifat nasional dan akan menjadi kunci bagi instansi lain yang membutuhkan data serupa. Cahyana merujuk pada kode wilayah yang dipergunakan oleh banyak lembaga saja tidak sama. Misalnya, kode 1 atau 01 oleh sejumlah lembaga merujuk pada Ibu kota negara, yaitu DKI Jakarta. Kode yang sama dipergunakan lembaga atau instansi pemerintah yang lain untuk merujuk pada, misalnya, Nanggroe Aceh Darussalam atau bahkan DI Yogyakarta. “Ini saja sudah pabaliyeut, “ ujar Cahyana.
Paling tidak Cahyana dan timnya telah melihat perlunya restrukturisasi data sebagai basis sisfonas, yaitu data kependudukan, kewilayahan dan kepemerintahan.Ini merujuk ketiga basis data ini sebagai bagian dari Government Resource Planning. Basis data ini harus terlebih dahulu dibenahi, sebelum bisa membenahi data-data sekunder dan tersier lainnya. Diakui bahwa basis data tersebut akan berada di tingkat kabupaten atau kota. Hal ini serupa dengan yang direncanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Untuk data kependudukan, misalnya, KPU telah merencanakan untuk melakukan sensus penduduk dan pemilih pada bulan Januari 2003. Sensus tersebut akan menghasilkan nomor seri unik bagi setiap warga negara. Nomor seri tersebut mungkin bisa dipersamakan Social Security Number yang berlaku di Amerika Serikat. Nomor unik tersebut tidak hanya akan dipergunakan oleh KPU, tapi juga dishare dengan berbagai lembaga atau instansi pemerintah yang membutuhkannya. Ia melihat apa yang direncanakan oleh KPU harus dikuti oleh berbagai lembaga dan instansi pemerintah lainnya. Ini tidak hanya mencegah agar tidak terjadi duplikasi yang dilakukan oleh instansi dan lembaga pemerintah lainnya, tapi juga pemborosan dan perang ego.
Untuk bisa merubah basis data dari manual menjadi e-data, maka diperlukan e-record. Melihat jenjang pemerintahan yang sedemikian meluas, maka untuk infrastruktur jaringan diperlukan paling tidak tujuh titik simpul atau node mulai dari pemerintahan desa atau kelurahan hingga ke tingkat pemerintah pusat dan kabinet. Kesemuanya itu harus disediakan oleh perusahaan-perusahaan penyedia jasa telekomunikasi. “Sekarang saya sedang melakukan mapping tentang bagaimana kemampuan masing-masing perusahaan itu untuk menyediakan layanan telekomunikasi yang menjangkau hingga ke pelosok-pelosok daerah,” kata Cahyana.
Kondisi ideal yang juga diharapkan terjadi adalah pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi yang bisa beradaptasi dan berintegrasi dengan teknologi terbaru yang lahir hampir setiap saat. Bila tidak yang terjadi adalah terbuangnya investasi pemerintah secara Cuma-cuma. Azas manfaat tampaknya akan mencegah kemubaziran akibat ketidak kompatibilitas dari perangkat-perangkat sistem informasi di masa depan.
Namun kondisi yang sulit bisa diterobos hingga saat ini adalah ketersebaran policy making yang bisa jadi menghambat kelajuan implementasi proyek berskala kolosal ini. Kasus Voice over Internet Protocol (VoIP) saja juga memperlihatkan kekacauan berfikir, bertindak dan berkoodinasi di antara lembaga-lembaga pemerintahan. VoIP yang merupakan terobosan teknologi komunikasi yang seharusnya bisa dinikmati rakyat banyak. Akibat perang ego masing-masing lembaga pemerintahan justru menjadi perangkat elit yang hanya bisa dinikmati oleh golongan tertentu karena adanya pembatasan dari regulasi yang dikeluarkan pemerintah sendiri.
Karena itulah, Cahyana juga menekankan perlunya aksesibilitas tinggi. Aksesibilitas yang tinggi juga menjadi perhatian karena keberhasilan dalam membangun sistem informasi terbaik bagi masyarakat akan menentukan keberhasilan dalam pengembangan satu sistem informasi pemerintah. Secanggih apapun teknologi yang diimplementasikan, bila hanya bisa diakses oleh segelintir kecil masyarakat akan tidak berarti apa-apa. Aksesibilitas yang tinggi tidak hanya mempersoalkan teknologi dan bandwidth yang lebar, tapi juga harus mempersoalkan biaya yang terjangkau oleh setiap komunitas. Ini penting untuk mencapai pemerataan akses ke hampir seluruh wilayah republik ini.
Faktor lain yang harus menjadi perhatian adalah terjadinya kesenjangan digital. Ini merupakan masalah terbesar karena untuk bisa mengatasi kesenjangan digital yang sudah sedemikian besar diperlukan upaya-upaya raksasa dan masif, apalagi jika jangkauannya diharapkan bisa sampai ke desa-desa di berbagai pelosok. “Itu sebabnya KMNKI memiliki misi menembus keterisolasian”, ujar Cahyana.
Untuk bisa menembus keterisolasian, pemerintah melalui KMNKI mau tidak mau memikirkan untuk memanfaatkan konvergensi antara teknologi informasi dan komunikasi yang telah ada maupun yang akan ada. “Bagaimana kita bisa menghubungkan lebih dari 100.000 desa dan kelurahan di seluruh Indonesia melalui jaringan komunikasi.” Ia juga melihat perlunya upaya mendorong penyebarluasan warung telekomunikasi dan warung internet hingga ke pelosok-pelosok daerah.
Untuk bisa mengatasi kelangkaan sumber daya manusia dalam mengoperasikan perangkat-perangkat tersebut, Cahyana juga telah memikirkan penyediaan laboratorium komputer di sekolah-sekolah. “Kami juga meluncurkan program OSOL atau One School, One Lab,” ujarnya serius. Diakuinya sekalipun program OSOL masih berupa konsep, namun pada kenyatannya 1-2 sudah terlaksana. Yang terlintas di benaknya adalah bagaimana mengundang pihak ketiga untuk menjadi donatur bagi program ini.
Ketersebaran secara meluas dari informasi yang transparan, etis dan bertanggung jawab. Itu sebabnya KMNKI memiliki visi mewujudkan masyarakat berbudya informasi yang mandiri, demokratis dan sejahtera dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam artian yang memiliki daya saing secara global. “Jangan sampai justru masyarakat kita malah menjadi outlayers-nya, karena yang diinginkan kita adalah bagian dari perkembangan teknologi ini,” jelasnya.•••