Penerapan TI di Bank BNI memang bukanlah sesuatu yang baru. Sejak tahun 1966, bank pelat merah ini sudah menggunakan mesin-mesin komputer untuk mencatat berbagai transaksi. Menjelang tahun 1970, BNI menggunakan komputer screen hingga pertengahan tahun 1980-an, baru kemudian mulai dengan heavy komputer.
Hingga tahun 1995, BNI sudah melakukan komputerisasi untuk semua anak cabang. Namun, saat itu komputerisasi hanya ditempatkan di front office-nya saja, sedang untuk back office masih menerapkan sistem stand alone.
“Sebelumnya kita membuat itu untuk cabang-cabang kecil saja, tapi akhirnya dipaksakan juga untuk semua cabang. Saat itu peraturannya hanya cabang-cabang yang menghasilkan 80 persen bisnis menggunakan heavy komputer. Tapi karena komputer yang besar-besar ini ternyata tidak terintegrasi, lalu kita integrasikan”, ujar Gumirlang S. Indroyono, General Manager Information Technology Division BNI kepada Rully Ferdian dari eBizzAsia belum lama ini.
Menurut pria lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada ini, penerapan teknologi dibanknya dilakukan melalui tiga tahapan. Pertama, mempercepat layanan. Kedua, mempercepat layanan plus memperbaiki back office. Ketiga, mempercepat layanan dan back office sekaligus diintegrasikan. Keempat, pelayanan, back office dan Management Information System (MIS) yang menggunakan delivery channel.
“Sekarang ini sudah single point. Nasabah datang untuk transaksi, back office-nya juga sudah siap, sudah ada jurnalnya dengan baik,” tuturnya seraya mengatakan, ke depan BNI akan menyediakan fasilitas transaksi melalui televisi dengan menggunakan jaringan Kabelvision.
Banyak hal yang di dapat BNI dengan menerapkan TI dalam kegiatan bisnisnya, seperti keakuratan data di back office, kecepatan dalam pelayanan, efisien dalam pekerjaan, dan yang utama adalah memudahkan nasabah dalam melakukan transaksi.
Sementara Bank Niaga, dari mulai berdiri 26 September 1955 telah mengalami beberapa kali perubahan dalam implementasi TI-nya. Awalnya memang berkutat sendiri dalam pengembangan sistem aplikasi. Hal ini dilakukan dengan menyesuaikan perubahan bisnis dan perkembangan jaman. Hingga tahun 1997, Bank Niaga benar-benar melakukan perubahan sistem secara besar-besaran mulai dari core business system, infrastruktur hingga menggunakan sistem yang terintegarsi.
Menurut Andreas Tedja, Vice President PT. Bank Niaga, dalam implementasinya Bank Niaga tidak melulu menggunakan konsultan atau vendor. Ada beberapa program yang ditangani sendiri oleh tenaga TI internal yang berjumlah 100 orang - 60 orang IT operation dan 40 orang yang mengembangkan programnya.
“Kalau benar-benar kita belum kita kuasai, kita akan ke konsultan. Multipolar sebagai partner penyedia sarana infrastrukturnya. Untuk aplikasinya kita bekerjasama dengan Silver Lake dari Malaysia. Kemudian untuk penyedia jaringan komunikasi dengan Citra Sari Makmur (CSM), Lintas Artha dan Telkom untuk provider komunikasinya,” ujarnya. Menurutnya, pada tahun 1995, pihaknya menganggarkan 25 juta dollar AS untuk investasi. Namun, beberapa tahun terakhir ini justru berkurang menjadi 18 juta dollar AS untuk jangka waktu lima tahun.
Sementara dalam meluncurkan produk barunya, Bank Niaga membentuk Operation and Information Technology Committee, yang terdiri dari Senior Management yang dipimpin langsung oleh Board of Director. Merekalah yang menentukan layak tidaknya sebuah produk dikeluarkan. Tidak itu saja. Komisaris juga berperan menentukan kisaran biaya investasi. Bahkan, peran karyawan pun diikutsertakan dan berada dibawah pengawasan Direktur Kepatuhan.
Bank pemerintah lainnya, BRI, dalam mengimplementasikan arsitekturnya menempuh berbagai cara, mulai dari in-sourcing, co-sourcing dan out-sourcing. Untuk software dan aplikasi, ditempuh pola co-sourcing dengan penekanan pada faktor maintenance yang dilakukan secara mandiri penuh oleh BRI.
Untuk pembiayaan ditempuh pola pembelian atau penyewaan. “Ini tergantung pada tingkat efisiensi, efektivitas dan keamanan yang diamanatkan,” ungkap Abing Rabani, Deputy General Manager IT BRI. Untuk hardware dan jaringan komunikasi BRI memilih untuk menginvestasikan dananya. “Ini karena memang lebih efisien,” katanya. Untuk pengelolaan network dan instalasi infrastruktur ditempuh cara sewa dari pihak ketiga.
Ada juga alasan kemandirian, keamanan dan efisiensi sebagai prioritas tertinggi. Abing menunjuk pada penggelaran broadband VSAT. Hal itu dikarenakan BRI tidak ingin tergantung pada infrastruktur publik yang memang sangat rawan dan kualitasnya tidak menentu. Jaringan broadband VSAT yang digunakan memiliki kapasitas down-link sebesar 6 Mbps dan up-link sebesar 256 Kbps. Jaringan ini tidak hanya digunakan untuk komunikasi data, melainkan juga untuk komunikasi suara antar outlet-nya.
Dengan broadband VSAT, bukan saja BRI telah menerapkan Real Private Network yang menggunakan infrastruktur publik. Melainkan benar-benar jaringan privat BRI, sehingga keamanan dan kesinambungannya lebih terjamin. “Ya memang kemudian kami harus menambahkan sendiri berbagai piranti sekuriti agar lebih terjamin,” ungkapnya.
Dengan menggelar private network sendiri, Abing mengakui, bahwa efisiensinya juga semakin meningkat, karena BEP (break event point) untuk sebuah outlet dengan fasilitas online rata-rata sudah tercapai dalam waktu 24 bulan. Sedangkan untuk outlet yang tidak online rata-rata waktu BEP tercapai hanya dalam waktu 18 bulan.
Saat ini, BRI bisa dikatakan baru saja menyelesaikan rencana strategi bisnisnya untuk jangka 2003 - 2007. Dalam rencana itu, BRI diharapkan bisa memberikan layanan yang prima bagi kebutuhan para pelanggannya, terutama di sektor ritel, mikro dan menengah.
Guna mencapai visinya sebagai bank komersial yang berfokus pada kepuasan pelanggan, dan misinya sebagai mikro, ritel dan middle banking, BRI harus didukung bukan hanya dengan profesionalisme dan good corporate governance, melainkan juga implementasi TI yang terintergasi.
Itu sebabnya, penggelaran TI sudah merupakan sesuatu yang mandatory atau diamanatkan. “Apalagi nasabah menuntut untuk menggunakan jasa anytime, anywhere dan anyhow,” ungkap Abing. Ini disarankan sekali terutama di daerah perkotaan, yang nasabahnya menuntut kecepatan transfer, misalnya.
Penggelarannya didasarkan pada visi untuk menjadi enabler dari produk dan layanannya. “Saat ini, masih bisnis yang men-drive TI dan TI sebagai enabler bisnis,” jelas Abing lagi. “Kita belum sampai pada tahap TI mendrive bisnis,” akunya. Misi penggelarannya adalah mem-provide BRI dengan TI yang terintegrasi untuk meningkatkan kualitas delivery channel bagi produk dan layanannya, baik konvensional maupun elektronik.
Untuk branch delivery channel, Abing mengklaim BRI merupakan bank nasional pertama yang mengaplikasikan web teller. Dengan pengaplikasian ini, BRI tidak hanya didukung konfigurasi fat client atau client server architecture di kantor-kantor cabangnya. Sementara untuk micro outlet-nya, dilengkapi dengan konfigurasi thin client yang didukung teknologi berbasis web.
“Biaya thin client-nya kurang dari 75%. Selain itu, mudah perawatan dan penggunaannya,” jelas Abing. Hanya dengan sebuah notebook, micro outlet BRI bisa beroperasi secara online apalagi didukung oleh ketersediaan broadband VSAT. •••