VIEWPOINTS

Mirip Lagu Benci Tapi Rindu

Mirip Lagu Benci Tapi Rindu

Hampir bisa dipastikan dalam persoalan industri teknologi informasi (TI), republik ini masih tidak memiliki prioritas yang jelas dalam pengembangannya. Berbeda dengan negara-negara tetangganya, seperti Malaysia dan Singapura, bahkan Pilipina, yang telah menggariskan arah pengembangan industri teknologi informasi, Indonesia masih terlihat sangat acuh tidak acuh tehadap prioritas dan arah pengembangannya. 

Sekalipun hal tersebut tidak seluruhnya benar. Bahkan Indonesia bisa dikatakan sangat tertinggal bila ingin disejajarkan dengan India. Sebelum dilanda krisis di akhir dekade lalu, Indonesia yang sudah tergolong dalam kategori negara-negara dengan income perkapita menengah dalam kacamata Bank Dunia justru tidak memiliki arahan pengembangan dalam industri TI.

Bandingkan dengan India yang masuk dalam kategori negara dengan income perkapita rendah atau miskin, namun sejak tahun 1987 telah memulai pengembangan Techno Park. Techno Park ala India ini merupakan tempat pengembangan piranti lunak yang disponsori oleh pemerintah pusat India. India memang jitu, dalam hanya sepuluh tahun hingga tahun 1997, paling tidak delapan hingga sepuluh Techno Park telah berdiri dan beroperasi di sejumlah daerah di India. Pada tahun 1987 tercatat hanya 6.000 pekerja yang terlibat. Sedangkan pada tahun 1997, jumlah pekerja di seluruh Techno Park telah mencapai 6 juta orang. Pertumbuhan yang sangat fantastis bukan?

Menjelang pergantian milenium lalu, India juga merupakan negara yang paling memanfaatkan peluang yang tumbuh karena adanya ketakutan global akan millenium bug. Mantan Country Manager Intel Corp., Indonesia, Werner Sutanto mengungkapkan bahwa India menjelang pergantian milenium paling tidak mengirim lebih dari 1.000 mahasiswanya setiap tahun ke berbagai negara maju untuk terlibat dalam proyek millenium bug. Tugas mereka sedemikian sederhana, hanya menulis kembali program-program yang telah ada sembari memperoleh peluang bersekolah dan uang saku. Sementara Indonesia, jangankan mengirim mahasiswanya ke sana, tahu ada informasi semacam ini pun belum tentu mau dan akan memanfaatkannya.

India tampaknya telah memilih satu dari dua jalur keterlibatan pengembangan tekonologi informasi yang berlaku umum di dunia, yaitu dengan memilih menjadi pengembang piranti lunak dibandingkan menjadi produsen piranti keras. Keberhasilan India ternyata menarik perhatian industri serupa di Inggris. Awal tahun ini kedua negeri setuju menjalin aliansi dalam teknologi ini.

Berbeda dengan India, Malaysia di bawah kepemimpinan Dr. Mahathir Mohamad memilih untuk menekuni pengembangan piranti keras atau hardware. Penolakan republik ini atas keinginan berinvestasi raksasa elektronik Fairchild Republic dari Amerika Serikat pada tahun 1975 dengan alasan tidak padat karya, Fairchild Republic pun kemudian memilih Malaysia, atau tepatnya Penang untuk mendirikan instalasi manufakturnya di sana. Kini, Pulau Penang, bisa dikatakan sebagai sentra industri manufacturing dari industri TI. Intel Corp., pun memiliki instalasi manufacturing di sini. Bahkan di masa mendatang, Malaysia diperkirakan akan menjadi IT hub untuk kawasan Asia Tenggara dan Selatan.

Keinginan untuk juga menyerap investasi dari industri-industri TI yang berkelas dunia sebenarnya juga diinginkan oleh republik ini. Namun apa lacur, sebagian besar dari mereka justru tidak lagi berminat untuk berinvestasi di Indonesia. Bukan hanya karena alasan lingkungan investasi yang tidak kondusif, tapi juga rata-rata dari mereka sudah menginvestasikan uangnya di banyak negara tetangga Indonesia di kawasan Asia-Pasifik. Kunjungan CEO Intel Corp., Craig Barret ke Indonesia pada tahun 1997 bisa menjadi barometer hal tersebut. Sekalipun Barret mengungkapkan dalam konferensi pers bahwa Indonesia menawarkan berbagai kemudahan berinvestasi, namun Intel Corp., tidak bergeming dan menganggap tawaran tersebut sudah sangat terlambat.

Piranti Keras pun Tidak Ditengok
Pada era Orde Baru lalu, paling tidak tercatat produser printer Epson yang telah menanamkan uangnya di kawasan industri di Pulau Batam. Namun industri manufacturing ini hanya terbatas untuk memproduksi khusus printer. Celakanya sikap pemerintah justru melihat kehadiran industri semacam ini sama dengan industri elektronika umumnya. Saat yang sama, Kelompok bisnis Astra juga mendirikan sebuah pabrik chip. Namun perlakuan yang sama juga diterima oleh industri ini. Akibatnya kedua industri ini mengalami stagnasi dalam pertumbuhannya.

Cara lain menumbuhkan industri TI adalah seperti yang dilakukan Intel Corp. Intel Corp. Indonesia mendorong pertumbuhan industri lokal dengan memberikan status Original Equipment Manufacturing (OEM) kepada tiga buah industri lokal. Namun menjelang krisis, jumlah OEM menyusut menjadi dua. OEM yang mengundurkan diri tersebut memilih untuk memprioritaskan dirinya berkonsentrasi pada bisnis monitor.

Alih-alih hal tersebut bisa diartikan sebagai sedemikian kecilnya potensi pasar TI, terutama untuk segmen hardware. Ini bisa dilihat bahwa hampir sebagian besar segmen pasar ini justru dikuasai oleh komputer-komputer rakitan, baik jangkrik atau white box. Boleh jadi Elisa Lumbantoruan, Director Industry Standard Server HP, yang kini bermukim di Singapura, menyebutkan tidak menariknya pasar piranti keras di Indonesia karena rendahnya skala ekonominya. Sehingga jarang ada produsen kelas dunia yang mau menginvestasikan uangnya ke Indonesia.

Angka penjualan piranti keras dan lunak TI juga merosot tajam sejalan dengan bertambahnya krisis di Indonesia. Dengan Rupiah yang terkapar terhadap Dollar Amerika, maka volume pasar pun menyusut drastis. Hanya kalangan yang tidak sensitif terhadap harga yang masih bisa diharapkan menjadi tulang punggung pasar. Saat ini, sekalipun volume pasar produk-produk IT terutama PC juga sudah mulai meningkat, namun volumenya tidaklah sebesar sebelum krisis menghantam Indonesia.

Tesis di atas masih bisa diperdebatkan panjang dan lebar, tapi nampaknya produsen PC Internasional tidak diam menanti membaiknya situasi perekonomian nasional yang tidak juga kunjung membaik. Dell, misalnya, telah meluncurkan white box. Sementara Compaq juga ikutan meluncurkan Evo dengan operating system Linux. Tujuan keduanya jelas merebut pangsa pasar yang didominasi oleh komputer-komputer rakitan. Jika keduanya berhasil, maka tak ayal produsen PC tanpa merek harus bergerilya lebih keras lagi. Tapi itu tidak berarti tanpa harapan sama sekali.

Zyrex dan Mugen, dua pemilik brand lokal, memilih cara outsourcing dalam berproduksi. Cara yang sangat bagus dalam mengantisipasi kondisi saat ini dan mendatang. Mereka tinggal mendesain arah pengembangan produk-produknya, dan memperluas jangkauan pasar seperti yang dilakukan oleh produsen-produsen bertaraf Internasional lainnya. Dengan fokus semacam itu, kedua OEM Intel Indonesia Corp., bisa menghindari kepusingan investasi dan pengembangan-pengembangan industri elektronika pendukungnya. Apalagi memang pemerintah kita jelas-jelas acuh tidak acuh dalam mendukung apalagi mengembangkan industri ini di masa kini dan masa mendatang. Ini tentu jelas-jelas sangat disayangkan

Piranti lunak justru berotot
Era pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid yang hanya seumur jagung justru telah memulainya dengan menerbitkan dua keputusan yang bisa dijadikan acuan bagi pengembangan industri ini. Salah satu keputusan penting saat itu adalah mendorong kelahiran piranti lunak atau software berbahasa Indonesia. Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) sekaligus Ketua Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) saat itu Dr. AS Hikam segera menjalankan keputusan penting tersebut. Bahkan saat itu, AS Hikam telah mengontak Microsoft Indonesia untuk bekerja sama dalam menciptakan Windows berbahasa Indonesia. Namun dengan alasan kecilnya volume dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pengembangan tersebut, tim BPPT menengok ke sumber lain yaitu Trustix Merdeka dan Universitas Gajah Mada untuk mewujudkan obsesinya.

Saat itu sambutan kerja sama sangat positif sehingga tim BPPT pun mulai bekerja. AS Hikam masih ingat bahwa ide piranti lunak memperoleh tantangan dari berbagai pihak. Secara teknis memang tak perlu diragukan kemampuan pengembangannya, namun secara komersial maka kendala yang dihadapi sangatlah beragam. Jauh sebelum itu, memang pernah ada program Words berbahasa Indonesia di pasaran domestik, namun tidak bisa berkembang maka piranti lunak tersebut pun hilang ditelan waktu. Masalah yang klasik dalam masalah ini adalah masalah hak cipta yang berhadapan dengan kegemaran bajak-membajak banyak pihak di Indonesia. Tampaknya tim BPPT tidak mau kehilangan momentum yang sangat berharga, dan begitu anggaran turun tim tersebut langsung bekerja. “Kita ini sudah sangat tertinggal, kok masih disibukkan dengan persoalan-persoalan semacam itu,” katanya.

Hanya dalam waktu relatif singkat tim BPPT berhasil menerbitkan dua piranti lunak. Pada awal tahun 2002 ini, tim ini berhasil menyuguhkan ke pada masyarakat dua buah piranti lunak yaitu Winbi dan Kantaya. Winbi merupakan operating system dan Kantaya merupakan aplikasi web server. Keduanya berbasiskan Linux.

Keberhasilan BPPT untuk menyuguhkan keduanya memang memancing tanggapan positif dari komunitas TI di banyak daerah. Apalagi keduanya tersedia secara gratis sehingga kendala mahalnya harga sebuah piranti dan ketidak mampuan berbahasa asing bisa tereliminasi. Paling tidak keberhasilan itu merupakan terobosan terhadap kebekuan dan ketidak acuhan pemerintah terhadap arahan pengembangan industri ini.

Padahal, sebelum BPPT meluncurkan kedua piranti lunak itu, Menristek/Ketua BPPT kabinet Megawati, Ir. Hatta Radjasa pernah mengungkapkan bahwa pada tahun 2000 lalu, ekspor piranti lunak yang terkait dengan animasi dari Indonesia telah mencapai 70 juta Dollar Amerika. Jumlah yang tidak kecil dan seharusnya dijadikan landasan untuk berkembang di masa depan. Apalagi kini, stasiun televisi nasional dan lokal yang menjadi pasarnya justru berkembang.

Dengan modal yang telah ada, mungkin kita perlu meniru langkah-langkah strategis yang telah dilakukan India dengan mendorong kalangan industri infokom nasional dan menentukan prioritas serta arah pengembangannya secara jelas. Jangan lagi acuh tidak acuh seperti yang selama ini diperlihatkan, lalu kemudian tersentak kaget dan mulai mengintervensi dengan berbagai regulasi yang tidak jelas juntrungannya, bahkan justru merugikan industri ini.•••

Related Articles

Obat Sakit Kepala Sang Direktur

Obat Sakit Kepala Sang Direktur

Pop-Up Marketing, Efektifkah?

Pop-Up Marketing, Efektifkah?

GLOBAL TECHNOLOGY GROUP
PT Global Trimitra Mandiri
PT Global Tricitra Moderniti
PT Citra Media Prima

e-mail: halo(@)ebizzasia.com

Magazine

Visitor Counter

000052157709
Today: 7
This Week: 22
This Month: 224
Last Year: 520
Total: 52,157,709
  • Monday - Friday : 08.00 - 17.00 WIB