E-BUSINESS CASE

The Fifth Utility
Featured

The Fifth Utility

Ke depan, sumberdaya TI akan diperlakukan layaknya sebuah utility, seperti listrik maupun air. Model bisnis seperti ini bukan cuma angan-angan, tapi sudah mendekati kenyataan. Para vendor TI besar pun sudah serius menggarapnya.

Jangan salah sangka dulu. Judul artikel ini bukan plesetan judul film fiksi ilmiah “The Fifth Element”. Yang ini dikaitkan dengan utility computing, suatu konsep yang memungkinkan perusahaan memanfaatkan sumberdaya TI-nya secara lebih efisien dan mampu beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan bisnis. Sekedar konsep, atau sudah menjadi kenyataan? Dan, apa manfaatnya bagi perusahaan?

Utility computing saat ini merupakan topik yang cukup hangat dibicarakan di komunitas TI. Berbagai media meliput hal itu secara cukup ekstensif, para vendor gencar memromosikannya, dan perusahaan-perusahaan ada yang mulai menerapkannya. Untuk sesuatu yang dicap sebagai model baru paling hot dalam dunia komputasi bisnis, istilah utility computing sendiri dianggap kurang seksi. Mungkin, itulah sebabnya mengapa beberapa vendor memberinya beberapa istilah yang berbeda.

IBM menawarkan utility computing dengan sebutan “E-business on demand.” Microsoft menampilkan frasa yang lebih panjang, “the dynamic systems initiatives.” Hewlett-Packard menggunakan istilah “adaptive enterprise,” sementara Sun Microsystems menggunakan label yang lebih efisien namun menimbulkan tanda tanya, “N1.” Bahkan, perusahaan riset pasar teknologi informasi pun tidak ketinggalan menciptakan istilah sendiri untuk yang satu ini. Forrester Research misalnya, menjuluki utility computing dengan istilah “organic IT.”

Meski istilahnya beragam, tetapi perlu Anda ingat bahwa semua itu hanyalah marketing gimmick belaka. Sekalipun tidak dipungkiri bahwa masing-masing vendor menawarkan pendekatan yang berbeda. Namun secara prinsip, semua merujuk pada konsep dasar yang sama: proses komputasi akan berevolusi menjadi sumberdaya yang dinikmati bersama (shared resources), seperti halnya listrik, air, gas, atau telepon. Bahkan, di Barat sana, ada beberapa pihak yang sudah menganggap utility computing sebagai “the fifth utility,” selain empat keperluan manusia modern di atas.

Pada akhirnya nanti, si pengguna cukup nyantol ke suatu jaringan, menggunakan kapasitas komputasi sebesar dan selama yang dibutuhkannya, dan, membayar hanya untuk apa yang telah mereka konsumsi. Sebagaimana halnya dengan utility tradisional, sang pelanggan bisa menimbang-nimbang sendiri seberapa besar biaya yang harus mereka bayar untuk kualitas layanan (quality of service) apa yang mereka dapatkan.

Sayangnya, masih banyak pula rata-rata eksekutif yang belum mengetahui apa atau seberapa besar manfaatnya. Konsep-konsep TI baru, seperti halnya utility computing cenderung mudah disalahpahami (lihat boks: “Evolusi Model TI”). Para praktisi teknis pun jarang menerjemahkan suatu konsep TI ke dalam pengertian bisnis, sehingga orang-orang non teknis pun hanya bisa meraba-raba dalam kegelapan. Karenanya, kini tiba saatnya semua pihak memahami masalah utility computing ini dari perspektif bisnis.

Menekan TCO
Menurut Michael Fisch, seorang analis TI dari Clipper Group, ada beberapa manfaat yang bisa dirasakan perusahaan jika menerapkan model utility computing ini, salah satunya adalah mendapatkan total cost of ownership (TCO) yang lebih rendah.

“Utility computing mengurangi TCO dengan mengurangi jumlah perangkat keras maupun perangkat lunak yang dibeli (acquisition cost) dan mengurangi biaya pengelolaan sepanjang masa operasi perangkat-perangkat tersebut (operating cost),” papar Fisch. Dalam hal pengurangan acquisition cost, utility computing mewujudkannya dengan cara menggunakan aset secara lebih efisien. Misalnya, perusahaan biasanya memanfaatkan hanya 30-40 persen dari kapasitas storage-nya, tetapi sesungguhnya bisa saja pemanfaatan ini mencapai 80 persen, jika ia divirtualisasikan, dijejaringkan dan dikelola dengan pintar. Mengubah utilisasi dari 40 persen menjadi 80 persen ini akan memangkas cost perangkat keras storage dan array-based software menjadi setengahnya.

“Jika ini diekstrapolasikan dalam kasus server, software dan jaringan, jelaslah bagaimana utility computing bisa memangkas acquisition cost dengan meningkatkan utilisasinya,” lanjut Fisch.

Utility computing juga memberikan tingkat mutu layanan kepada para pengguna maupun aplikasi secara lebih pas. Dengan memberikan pengguna sesuai apa yang mereka butuhkan – tidak lebih tidak kurang – paling tidak dapat menghindari adanya sekelompok pengguna atau aplikasi menikmati tingkat layanan yang lebih tinggi dari kebutuhan.

Dari sisi biaya operasi, utility computing membuatnya lebih rendah karena menyederhanakan pengelolaannya. Sejauh ini, biaya terbesar penerapan TI dalam jangka panjang adalah pengelolaannya, khususnya dari segi SDM. Melalui pengelolaan terpusat, virtualisasi resource yang heterogen, dan otomasi, utility computing secara dramatis dapat meningkatkan produktivitas masing-masing administrator. Sehingga, biaya pengelolaannya pun lebih rendah. Kerja admin juga semakin ringan, karena dengan mengotomasikan pekerjaan yang sifatnya repetitif, ia bisa berkonsentrasi mengerjakan hal-hal yang lebih strategis dan kompleks.

Di sisi lain, utility computing juga menyelaraskan sumberdaya TI dengan seluruh bagian perusahaan. Dampak penerapan TI terhadap sebuah perusahaan adalah fungsi dari teknologi itu sendiri, seberapa baik pengelolaannya, dan keterkaitannya dengan proses bisnis.

“Utility computing menjanjikan pemberian layanan dalam jumlah yang tepat pada waktu yang tepat bagi masing-masing pengguna. Tidak ada lagi istilah one-size-fits-all service. Tidak ada lagi dukungan yang tidak memadai untuk aplikasi-aplikasi yang penting, yang bisa berdampak terhadap produktivitas proses bisnis terkait. Penerapan kinerja dan kehandalan yang tinggi di tempat yang tepat meningkatkan efektifitas infrastruktur secara keseluruhan,” papar Fisch.

Misalnya, jika suatu aplikasi penting membutuhkan tingkat proteksi dan recoverability tertinggi, seperti remote mirroring dengan proses failover yang nyaris instan, aplikasi tersebut bisa mendapatkan layanan ini sementara yang lainnya mendapatkan alternatif yang tingkat kecanggihannya sedikit di bawah dan tentunya lebih hemat biaya. Singkatnya, utility computing mampu menyeimbangkan secara optimal antara kebutuhan bisnis dan biayanya.

Kemudian, salah satu manfaat lain utility computing yang sering didengung-dengungkan berbagai pihak adalah membuat perusahaan lebih adaptif terhadap perubahan. Model TI tradisional boleh dibilang lebih kaku, sehingga untuk mengubahnya lebih mahal dan memakan waktu. Utility computing, sebaliknya, bersifat lebih fleksibel dan mudah beradaptasi. Kemampuan beradaptasi ini dilihat dari kemampuannya untuk virtualisasi, pengelolaan terpusat, penyediaan secara dinamis, dan realokasi sumberdaya. Utility computing memungkinkan perusahaan bergerak bebas dan merespon perubahan pasar dan kondisi persaingan secara lebih cepat atau dengan kata lain business agility-nya lebih tinggi.

Kendala
Seperti teknologi potensial lainnya, utility computing juga menghadapi banyak kendala. Saat ini saja, tidak ada satu pun standar industri yang mengaturnya, meski protokol Web-services, yang dirancang untuk membantu aplikasi saling berkomunikasi melalui Internet, disebut-sebut akan berperan penting, seperti halnya grid computing.

Walaupun perangkat penghitung atau “argometer” penggunaan utility computing, dan penentu kebutuhan komputasi mana yang perlu diprioritaskan sudah tersedia, namun hal itu belum didukung oleh pengembangan enterprise policy, desain arsitektur, serta tata-pamong (governance) proses. Yang jelas, saat ini belum ada cara sederhana untuk mengubah sistem TI perusahaan besar yang tersebar luas menjadi satu utility terintegrasi tanpa harus melalui upaya konsolidasi dan standarisasi yang sulit.

“Sebagian besar vendor masih mengabaikan kompleksitas perubahan yang harus ditempuh suatu perusahaan untuk menerapkan utility computing dinamis seperti ini,” kritik Mary Johnston Turner, vice president dan direktur large-enterprise practice di Summit Strategies Inc. Dan, perubahan itu, menurut Turner, tidak hanya dari aspek teknologi saja. “Untuk mewujudkan manfaat yang terdengar indah seperti penghematan dana, meningkatkan produktivitas atau menjadikan TI lebih responsif terhadap kebutuhan bisnis, Anda juga benar-benar perlu menerapkan pendekatan policy-based automated services management,” papar Turner.

Diluar hambatan-hambatan itu, para analis memprediksikan bahwa apapun namanya, utility computing pada akhirnya nanti akan menjadi pilihan yang masuk akal dan menjadi realita bisnis sehari-hari.

Seorang analis dari Forrester, Frank Gillet, memprediksi bahwa “untuk memenuhi seluruh visi dari utility computing ini dibutuhkan waktu satu dekade atau lebih. Namun, pada intinya, utility computing akan mentransformasikan TI dari upaya yang bersifat asset-intensive menjadi variable cost, suatu service expense yang kadang naik dan kadang (secara teori) turun.• mf/aa

 




Evolusi Model TI


Menurut Michael Fisch, utility computing bisa lebih mudah dipahami dengan mengetahui perbedaan dengan model-model TI sebelumnya. Boleh dibilang, TI sudah mengalami evolusi dalam tiga tahap: traditional open systems, consolidated open systems, dan utility computing sendiri. Semua tahap ini bergerak secara berkesinambungan, dari tahap satu ke tahap berikutnya sejalan dengan perbaikan dan perubahan sistem yang digunakan perusahaan. Model-model TI ini selain mempertimbangkan faktor teknologi, juga melibatkan faktor bisnis/budaya, karena TI tidak ditentukan oleh teknologi semata, melainkan juga bagaimana bisnis menggunakan, mengelola dan berhubungan dengannya.

Dari faktor bisnis, akuntabilitas untuk konsumsi dan penyediaan sumberdaya TI sangat diperhatikan. Pada model-model awal, masalah akuntabilitas ini dibatasi pada pengguna, yang menuntut layanan teratas dan sepanjang waktu untuk jenis apa saja – dan tentunya mengharapkan provider TI bisa menyediakannya. Sebaliknya, utility computing membuat pengguna bertanggung jawab terhadap apa yang “dikonsumsinya.” Pengguna diberi kelonggaran untuk menentukan kebutuhannya, tetapi mereka juga harus menyadari kaitan antara biaya dan kinerja dalam menentukan service-level agreement (SLA). Asumsi bahwa sumberdaya tidak terbatas, jelas tidak berlaku lagi.

Di sisi lain, provider TI bertanggungjawab memenuhi SLA yang disepakati. Jika dilengkapi teknologi dan piranti yang tepat, pekerjaan mereka sesungguhnya bisa lebih mudah, karena tujuannya sudah terdefinisi, terukur dan tidak terkena intrepretasi. Pengguna lebih terpuaskan karena mereka tahu apa yang akan didapatkan dan permintaan mereka pun lebih realistis.

Utility computing juga memusatkan fungsi-fungsi TI di seluruh bagian perusahaan untuk memaksimalkan skala ekonomisnya. Alih-alih pengelolaannya diserahkan kepada masing-masing departemen, TI menjadi sebuah fungsi pusat yang menyediakan layanan kepada seluruh pengguna dan departemen. Aset teknologinya mungkin saja tetap tersebar secara geografis, tetapi tidak dengan pengelolaannya. Infrastruktur tersebut secara efektif menjadi satu utility tunggal dengan satu organisasi di belakangnya. Jika departemen TI yang terpusat bisa memberi layanan yang tepat kepada pengguna yang tepat pada waktu yang tepat, maka masing-masing departemen tidak perlu lagi menggelar dan mengelola aset secara lokal.

Dalam konteks teknis, daripada menyediakan sumberdaya dari sistem atau solusi yang terpisah-pisah, utility computing menyediakannya dalam jumlah banyak dengan lapis layanan yang terukur. Ini perbedaan yang mendasar, seperti halnya sumber PLN dan outlet listrik di rumah. Pengguna menggunakan dan merasakan computer processing, kapasitas storage, bandwidth jaringan dan software aplikasi  dalam hal seberapa cepat waktu responnya, throughput dan konsistensi (kinerja), berapa besar prosentase online (availability dan recoverability), kuantitas yang diterima pengguna (misalnya kapasitas storage), dan biayanya.

Tingkat layanannya bisa berbeda-beda untuk masing-masing aplikasi atau pengguna, tergantung pada kebutuhan. Dari sudut pandang pengguna, berbagai perangkat dan sistem yang menyediakan layanan tersebut berada di belakang layar dan provider TI yang mengelolanya. Sebaliknya, sang provider bertanggung jawab menyediakan layanan sesuai SLA yang sudah disepakati. Kondisi ini membutuhkan penggunaan teknologi yang tepat, misalnya intelligent management software yang bisa memvirtualisasikan, menyediakan, memantau, melaporkan dan mengotomatisasikan computing resources sebagai suatu layanan.

Pada utility computing, infrastruktur TI-nya divirtualisasikan atau dikonsolidasikan ke dalam suatu logical pool. Apakah itu berupa storage, computing atau networking, virtualisasi ini mengatasi kerumitan fisik infrastruktur tersebut dan memungkinkannya dipilah-pilah dan dialokasikan untuk berbagai aplikasi maupun pengguna. Infrastruktur tersebut bisa beroperasi sebagai suatu entitas, sekalipun terdiri dari berbagai komponen yang dibuat oleh bermacam vendor. Para administrator bisa mengelolanya secara terpusat, dengan satu console tunggal, bukan melalui device manager sendiri-sendiri. Dengan begitu, tingkat utilisasi dan kemudahan penggunaanya lebih tinggi dibandingkan sistem tradisional, yang biasanya terdiri dari pulau-pulau storage dan komputer yang banyak, tersebar dan sulit pengelolaannya.

Virtualisasi dan pengelolaan yang terpusat ini merupakan modal dasar untuk menuju  full automation dan adaptability. Dengan otomasi, intervensi manusia diminimalkan dengan memungkinkan infrastruktur dapat mengelola dirinya sendiri. Ia dibuat untuk bisa merespon perubahan, alert dan event berdasarkan aturan dan prioritas yang sudah ditentukan sebelumnya. Mirip autopilot pada pesawat terbang. Dengan cara ini, seorang admin bisa menangani IT resource dalam jumlah besar dan kemungkinan operator error maupun miskonfigurasi semakin kecil.

Dengan begitu, adaptability bukanlah fitur teknis itu sendiri, namun kulminasi dari fitur/karakteristik lainnya. Artinya, resource bisa ditambah atau direlokasi sambil jalan, sesuai kebutuhan. Misalnya, sebuah web server tiba-tiba mengalami lonjakan trafik, dan karena server itu diprioritaskan lebih dibandingkan aplikasi-aplikasi lainnya, secara otomatis ia menerima resource tambahan, sementara aplikasi-aplikasi lain “mengalah sebentar.” Singkat kata, dengan utility computing, resource tidak perlu bersifat tetap atau diperuntukkan aplikasi tunggal atau departemen tertentu.••aa

Related Articles

Langkah Baru “Always On”

Langkah Baru “Always On”

Kliring Tanpa Kertas ala Bank Indonesia

Kliring Tanpa Kertas ala Bank Indonesia

Benahi Backend, Baru Frontend

Benahi Backend, Baru Frontend

GLOBAL TECHNOLOGY GROUP
PT Global Trimitra Mandiri
PT Global Tricitra Moderniti
PT Citra Media Prima

e-mail: halo(@)ebizzasia.com

Magazine

Visitor Counter

000052157752
Today: 5
This Week: 15
This Month: 18
Last Year: 520
Total: 52,157,752
  • Monday - Friday : 08.00 - 17.00 WIB