Penerapan teknologi informasi dan komunikasi segera akan memasuki babak baru dalam upaya mewujudkan apa yang disebut Cashless Society. Peluang dan tantangan apa saja yang akan dihadapi? Bagaimana pula kelemahannya?
Tak seperti beberapa tahun yang lalu, saat ini saya tak lagi banyak membawa uang tunai di dompet saya, paling-paling hanya untuk jaga-jaga jika dibutuhkan. Jumlahnya, yah cukuplah untuk berbelanja yang diperlukan saja, misalnya ketika berada di jalanan, meski masih di area Jakarta dan sekitarnya. Untuk berbelanja, saya menggunakan dua buah kartu kredit, yang satu “Silver” yang satunya lagi “Gold”, yang jumlahnya agak gedean dibandingkan yang Silver. Kartu kredit ini, karena dikeluarkan oleh bank yang terpercaya, saya begitu nyaman menggunakannya, dan tak ragu ada masalah. Kalaupun ada masalah, biasanya dapat segera diatasi begitu menghubungi layanan pelanggan bank tersebut.
Untuk keluarga, saya menggunakan kartu turunan bertajuk “family”, yang bisa diperuntukkan anggota keluarga – istri dan anak-anak. Sebagai kartu turunan, tanggungjawab utama ada di saya, karenanya agar tak kebobolan, saya menerapkan aturan tertentu untuk anggota keluarga. Dengan begitu, kartu-kartu tersebut dapat digunakan dengan baik, dan penggunaannya tak kebablasan seperti kebebasan demokrasi yang kita hadapi saat ini.
Selain itu, saya masih menggunakan sejumlah kartu lainnya, yakni Kartu Debit dan Charged Card , ditambah kartu-kartu keanggotaan yang kini banyak dikeluarkan oleh hotel, klub Golf, dan lain sebagainya. Istri saya juga menggunakan kartu khusus anggota belanja yang dikeluarkan oleh sebuah supermal terkenal, yang katanya lebih nyaman digunakan dalam membayar belanjaan. Berbeda kalau menggunakan kartu kredit, karena biasanya akan lama verifikasinya, dan tak jarang nggak nyambung. Sehingga, seringkali kartu kredit tersebut dianggap tidak bisa digunakan, alias tak ada dananya, dan bermacam alasan lainnya. Tetapi, kalau menggunakan kartu khusus itu, yang sejatinya bukan kartu kredit, melainkan kartu belanja yang dananya sudah dimasukkan terlebih dahulu, penggunaannya lebih cepat dan mudah.
Dengan kondisi semacam itu, maka tak heran jika dompet saya dipenuhi oleh sejumlah kartu yang bermacam-macam jenis dan untuk berbagai kebutuhan yang berbeda. Itu karena kartu-kartu tersebut, meski tak jarang jenisnya sama-sama kartu kredit - tetapi satu sama lain tak saling “berbicara” alias sendiri-sendiri.
Belum lagi, bank-bank pun masih menunjukkan arogansinya masing-masing, sebagai penerbit berbagai macam jenis kartu, yang atas nama kepuasan pelanggan, mereka rame-rame menyediakan perangkat pembaca kartu (EDC, Electronic Data Capture ) masing-masing. Akibatnya, di satu konter pusat perbelanjaan akan tersedia sederetan EDC dari sejumlah bank, dan masing-masing hanya dapat digunakan untuk keperluan khusus – kartu kredit, kartu debit atau charged card .
Seringkali saya bertanya-tanya, apakah hal ini tak bisa dibuat lebih sederhana? Misalnya, apakah tak mungkin menyediakan satu EDC yang dapat digunakan untuk berbagai kartu yang dikeluarkan oleh sejumlah bank, sehingga tidak setiap bank harus menyediakan perangkat EDC-nya masing-masing? Atau bisakah ATM yang sekarang ini ada dapat digunakan oleh semua bank, seperti yang selama ini telah digunakan, yakni “ATM Bersama”, Link dan sebagainya?
Butuh Uang kecil
Di sisi lain, meskipun saya sudah memiliki sejumlah kartu yang membuat dompet saya semakin penuh sesak, saya juga masih harus menyediakan uang kartal, bukan hanya yang bernilai nominal besar, melainkan juga yang kecil-kecil, setidaknya untuk sediaan kalau mau membeli bensin, membayar parkir, atau berbelanja yang nilainya tidak terlalu besar, misalnya membeli secangkir kopi, dua buah donat dan sebagainya. Berbeda dengan di luar negeri, kartu kredit hanya bisa digunakan jika nilai belanjaannya minimal Rp. 50.000 atau ada juga yang Rp. 100.000 plus ada tambahan 3% dari nilai pembayaran.
Memang, saat ini, sebagian transaksi keuangan yang saya lakukan, dan juga keluarga, sudah dilakukan menggunakan sistem pembayaran elektronik, yang bersifat non-tunai. Membayar kartu kredit, tagihan telepon (tetap dan seluler), listrik, dan air sudah saya lakukan secara non-tumai, melalui debit dari rekening tabungan saya. Sedang untuk transaksi belanja, sudah tentu saya menggunakan kartu kredit. Kalau transaksi bisnis, saya menggunakan cek, bilyet giro dan transfer, dan cara-cara lainnya yang semuanya non-tunai. Untuk kebutuhan uang kartal, saya mengambilnya melalui ATM yang kini semakin banyak dijumpai, baik di kantor-kantor cabang bank, mal, kantor dan sebagainya.
Sementara itu, anak saya, yang masih kuliah di salah satu universitas di Jakarta , tak jarang menggunakan internet banking dalam melakukan berbagai transaksi, antara lain untuk keperluan pembayaran atau pembelanjaan, transfer dan mengecek saldo. Sesekali ia juga menggunakan fasilitas SMS banking , yang katanya dapat langsung dioperasikan melalui ponselnya, mudah dan dapat dilakukan dari mana saja.
Untuk transfer, berapapun nilainya, seperti diungkapkan oleh Mohamad Ishak, Direktur, Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran, Bank Indonesia (BI) sudah sejak akhir 2003 lalu menerapkan apa yang kini dikenal sebagai Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement System (BI-RTGS). RTGS ini merupakan sistem transfer dana elektronik dalam mata uang rupiah yang dapat dilakukan di antara anggota yang masuk dalam sistem ini, dimana proses penyelesaian akhir transaksinya ( settlement ) dilakukan berbasis transaksi individual dan bersifat real time .
Sistem ini diterapkan sebagai pengganti sistem kliring yang dulunya dilakukan secara manual. RTGS ini dibuat sedemikian rupa, sehingga semua kegiatan kliring dapat dilakukan melalui komputer. Bersama dengan RTGS ini, juga diterapkan sistem kliring antarkota. Dengan kedua fasilitas ini, menurut Mohamad Ishak, proses transaksi bukan hanya menjadi lebih cepat dibandingkan sebelumnya, melainkan juga dapat memberikan kepastian antara pihak-pihak yang bertransaksi.
Bagi BI, penerapan sistem RTGS ini tentu saja semakin memudahkannya dalam melakukan pengawasan arus perputaran uang yang terjadi antar bank. Diharapkan kliring tanpa kertas ini mampu mengurangi risiko sistem pembayaran. Tak hanya itu, RTGS juga memungkinkan BI memonitor short term interest rate , yakni aliran pembayaran dan likuiditas yang terjadi di pasar.
Sebenarnya, kalau Anda telusuri lebih jauh apa yang Anda lakukan, termasuk saya, khususnya dalam melakukan berbagai transaksi, baik itu terkait kegiatan berbelanja, melakukan pembayaran maupun transaksi bisnis lainnya, sebagian besar sudah Anda lakukan secara non-tunai, dengan beragam cara dan sistem transaksinya. Dan, sebagian besar pula, transaksi-transaksi yang bernilai besar, boleh dikata semuanya sudah dilakukan secara non-tunai, dan bahkan elektronik atau setidaknya diperoses secara elektronik.
Namun, untuk transaksi-traksaki kecil-kecil, bukan hanya Anda saja yang masih membutuhkan uang kertas bernilai tukar kecil, melainkan para penyedia jasa atau layanan, termasuk utamanya, Bank Indonesia , masih harus menyediakannya dalam jumlah besar. “Saat ini, bukan saja jumlah uang kecil yang dibutuhkan cukup besar, namun biaya yang dibutuhkan untuk membuatnya juga besar. Tak jarang, nilai nominalnya tak sebanding dengan nilai materialnya (misalnya untuk membuat uang logam), sehingga terasa tidak efektif,” tambah Mohamad Ishak.
Padahal, saat ini, secara teknologi sudah dimungkinkan untuk menyediakan sistem transaksi pembayaran berbasis elektronik, sehingga tidak lagi dibutuhkan uang kartal, khususnya dengan nilai tukar kecil, misalnya Rp. 20.000 ke bawah. Uang recehan semacam itu, memang masih dibutuhkan untuk melakukan berbagai transaksi di tempat-tempat parkir, pembelian bahan-bakar minyak di SPBU-SPBU, pembayaran biaya tol dan berbagai transaksi lainnya.
Di sisi lain, ATM, yang sudah banyak tersedia di mana-mana, bahkan ada yang dapat digunakan secara bersama oleh sejumlah bank, selain semakin luas ketersediaannya, tak jarang mereka hanya menyediakan uang tukaran minimal Rp. 50.000. Selain itu, sistem pembayaran belanja pun kini semakin banyak menggunakan kartu-kartu keanggotaan yang bersifat eksklusif, yang hanya dapat digunakan di pusat-pusat perbelanjaan tertentu saja, yang berarti juga telah menghilangkan sebagian sistem pembayaran berbasis uang kartal.
Mengantisipasi berbagai pencapaian penerapan sistem berbasis elektronik (teknologi informasi dan komunikasi, TIK), khususnya dalam melakukan berbagai transaksi, baik belanja maupun pembayaran, yang sebagian besar sebenarnya telah dilakukan saat ini, belakangan ini mulai digulirkan wacana cashless society . Konsep yang tampaknya semakin memungkinkan diterapkannya sistem transaksi elektronik untuk beragam penggunaan, terutama untuk nilai transaksi yang kecil-kecil. Tetapi, apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan cashless society ? Apa keuntungan dan apa pula tantangan, serta kendala penerapannya di Indonesia ?
Cashless society
Sebenarnya, sudah lebih dari satu dekade lalu, perbincangan mengenai kemungkinan menggantikan sistem transaksi berbasis pembayaran fisik (tunai) dengan sistem pembayaran elektronik (non-tunai) sudah muncul. Namun, dengan semakin majunya teknologi dan semakin siapnya kalangan perbankan, wacana mengenai cashless society ini, terus bergulir.
Dengan cashless society , tidak berarti bahwa orang-orang akan dialihkan untuk tidak menggunakan uang, alias barter. Fase itu sudah lewat. Begitu juga giralisasi, dimana sejak tahun 70-an bank-bank sudah mulai memperkenalkan Tabanas, sehingga mendorong semakin banyak orang mengenal dan mau bertransaksi melalui sistem perbankan.
Sedang sistem giralisasi, kini hanya dilakukan untuk pembayaran yang besar-besar. “Mungkin, kini tidak ada lagi orang yang kalau mau membeli mobil dengan membawa uang tunai sekarung langsung pergi ke showroom . Karena, hal itu kini dapat dilakukan dengan mudah melalui nota kredit, atau perintah transfer,” ujar Mohmad Ishak menegaskan.
Sekarang ini, sebagian besar masyarakat telah mengenal perbankan, karena institusinya sudah tersedia di mana-mana, bahkan sampai di pedesaan-pedesaan. ATM kini semakin banyak tersedia di banyak tempat, dan semakin banyak pula masyarakat yang menggunakannya. Selain sistem perbankan, dengan sejumlah layanannya, semakin banyak tersedia dan mudah dijangkau, masyarakat juga merasa dimudahkan dengan adanya sistem tersebut. Nilai kemudahan itulah yang tampaknya juga menjadi pendorong, selain ketersediaan layanan yang semakin meluas itu.
Namun, bagaimana dengan transaksi-transaksi yang kecil-kecil, seperti keperluan membayar parkir di mal dan gedung perkantoran, membeli bahan-bakar di SPBU-SPBU, membayar tol, membayar tagihan (air, listrik, telepon, kartu kredit dan sebagainya), yang hingga saat ini masih banyak menggunakan uang tunai bernilai nominal kecil-kecil. Kalau pun mereka membayarnya secara tunai dengan menggunakan uang kartal bernilai tukar besar, tetapi kembaliannya tetap masih membutuhkan uang kecil.
Bukan saja pengguna dan penyedia layanan yang harus menyediakan uang kecil semacam itu, Bank Indonesia juga tak mudah menyediakannya. Selain membutuhkan biaya besar, tak jarang nilai nominal mata uangnya tidak sebanding dengan nilai bahannya, misalnya sering terjadi pada jenis uang logam. Sehingga kemungkinan uang logam tersebut dilebur untuk dijadikan produk lain, daripada digunakan sebagai alat bayar. Hal ini jelas tidak efektif, baik dalam pengadaan maupun penggunaannya. Padahal, penyediaannya jelas membutuhkan biaya yang cukup besar.
Meski sekarang ini pengguna kartu-kredit sudah cukup banyak (menurut data BI per Nopember 2005, jumlah pemegang kartu kredit di Indonesia mencapai 6,72 juta orang dengan nilai transaksi sebesar Rp45,24 miliar dan 21 bank penyelenggara), namun saat ini dinilai tidak praktis menggunakannya untuk transaksi-transaksi kecil seperti itu. Karenanya, diperlukan suatu sistem pembayaran mikro ( micropayment ) berbasis elektronik alias non-tunai yang lebih efisien dan mudah dilakukan, serta layanannya tersedia di mana-mana untuk beragam jenis transaksi yang dibutuhkan masyarakat.
Dengan begitu, cashless society yang dimaksud adalah bagaimana masyarakat dapat menggunakan sistem pembayaran mikro berbasis elektronik, yang berarti pembayarannya non-tunai, yang dapat digunakan untuk berbagai transaksi, baik pembayaran maupun pembelanjaan. Bukan sebaliknya, untuk menghapus semua penggunaan uang kartal dan menggantikannya dengan sistem transaksi elektronik.
Karena, jika seandainya cashless society yang dimaksud adalah tidak lagi menyisakan ruang bagi usaha-usaha kecil (UKM) yang nota bena selalu menggunakan uang tunai, apakah hal itu mungkin? Bukan saja karena mereka membutuhkan nilai uang tunai sebagai perputaran kebutuhan usahanya, tetapi apakah mereka juga mungkin menggunakan sistem pembayaran non-tunai secara efektif? Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa luas jangkauan cashless society yang dipertimbangkan untuk diterapkan?
Seberapa luas
Sekarang ini, disadari atau tidak, Anda, saya dan kita semua, memang sedang menuju ke sana . Kartu kredit sudah banyak banyak tersedia dan digunakan, terutama oleh mereka yang terkategori menengah ke atas. Meski, sebagiannya memang ada yang dianggap belum layak menggunakannya, tetapi memaksa untuk menggunakannya atau “dipaksa menggunakanny”, dengan alasan diberi oleh bank penerbit. Namun, akhirnya hal itu memunculkan beragam masalah yang justru menyulitkan si pengguna. Ini setidaknya terlihat dari banyaknya masalah yang dihadapi kalangan perbankan saat ini terhadap pengguna kartu kredit ini.
Hingga Agustus 2005, nilai kredit bermasalah ( non performing loan /NPL) kartu kredit mencapai Rp1,088 triliun atau 7,17 persen dari total kredit melalui kartu kredit yang sebesar Rp15,172 triliun. Menurut Mohamad Ishak, persentase NPL kartu kredit itu lebih rendah dibanding NPL kredit perbankan secara umum, yang mencapai 8,02 persen atau Rp53,458 triliun dari total kredit perbankan hingga Agustus 2005 yang sebesar Rp 666,511 triliun.
Karenanya, Bank Indonesia mulai menerapkan aturan yang lebih ketat terhadap pemasaran kartu kredit ini. Selain untuk menjaga agar kepentingan masyarakat lebih terlindungi, karena kartu-kartu itu adalah uang milik masyarakat, juga agar bank-bank pun tak semakin main gampang memberikan kartu kredit kepada yang belum layak memilikinya. Bukan saja hal itu akan menyulitkan bagi si pengguna sendiri, juga bagi bank, ini terutama dengan besarnya masalah yang terjadi.
Karenanya, dalam mengantisipasi cashless society ini, bukan saja akan semakin mendorong sistem transaksi berbasis elektronik yang aman dan mudah, juga akan lebih mendorong masyarakat untuk lebih cenderung menabung, sehingga mereka dapat menggunakannya untuk berbelanja atau melakukan pembayaran. Sehingga, kartu kredit, meski memberikan banyak kemudahan, tetapi hanya digunakan oleh mereka yang benar-benar layak dan sesuai dengan kebutuhannya.
Selain itu, dengan cashless society , maka akan semakin dimungkinkan membangun jaringan transaksi yang lebih transparan, efisien dan meluas melalui berbagai sinergi kegiatan dan operasional, baik antara penyedia layanan dengan bank, maupun juga dengan pelanggan. Cashless society, tampaknya, dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan dalam melakukan transaksi bernilai kecil, tetapi boleh jadi rutin dilakukan, sehingga lebih mudah dilakukan dan memberikan keuntungan yang lebih luas.
Bagi pengguna, transaksi dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan tidak disibukkan dengan penyediaan uang receh, yang tak jarang sudah kumal karena telah digunakan untuk beribu kali transaksi. Bagi penyedia layanan, hal itu juga akan semakin dimudahkan, karena penjualan produk dan layanan dapat dilakukan secara non-tunai. Bukan saja tak perlu menyediakan uang receh kembalian, juga tak lagi menerima dan menyimpan uang kartal, serta tak perlu menyetor ke bank, karena secara otomatis begitu transaksi dilakukan, maka nilai penerimaan sudah langsung masuk ke rekening.
Selain itu, pembayaran pajak penjualan juga akan langsung bisa masuk ke rekening pajak negara, tanpa perlu lagi dipungut dari penyedia layanan, yang merupakan wajib pajak. BI sendiri pun tak perlu lagi repot-repot menyediakan uang kartal recehan itu.
Menggantikan semua sistem transaksi tunai dengan non-tunai berbasis elektronik, tampaknya masih sangat jauh dari jangkauan. Tetapi, menggunakan sistem non-tunai berbasis elektronik, diperkirakan sudah dapat dilakukan untuk beberapa kegiatan transaksi tertentu, seperti dicontohkan di atas, antara membayar tol, biaya parkir, membeli BBM di SPBU, berbelanjan di mal, kafe dan restoran dan sebagainya. Masalah utamanya, bukan dapat tidaknya hal itu dilakukan, melainkan kemauan dan kesiapan semua pihak yang terlibat dalam mendukung hal itu.
Menurut Mohamad Ishak, hal itu jelas tak cukup kalau hanya masyarakatnya saja yang mau dan sistemnya tersedia, sementara kalau bank-nya sendiri tidak mau, lantas siapa yang akan mendanai? Karenanya, yang perlu adalah bagaimana sejumlah pihak yang terkait ini dulu yang didorong untuk menuju ke sistem tersebut. Karena, pada dasarnya, masyarakat akan mau menggunaklannya, jika hal itu akan memudahkan mereka, kerena layanannya aman dan tersedia di mana-mana. Paling tidak, untuk sementara ini, difokuskan untuk mendukung beberapa jenis transaksi yang paling potensial untuk dilakukan.
Yang penting, upaya menuju cashless society , meski terbatas, ini tidak semata-mata karena mengikuti tren atau mau mencari jalan pintas untuk tujuan-tujuan bisnis tertentu. Melainkan, lebih jauh, bagaimana melakukan sesuatu yang dapat memberikan solusi yang dihadapi masyarakat, pemerintah dan kalangan bisnis, yang semuanya melahirkan sinergi yang mendorong potensi lebih besar, terutama dalam perkembangan ekonomi dan kreativitas masyarakat.
Pengunaan saat ini
Selain ATM, baik individual maupun bersama, berbagai jenis produk atau layanan transaksi keuangan sebenarnya sudah cukup beragam. Misalnya, e-wallet yang telah diperkenalkan sejak Oktober 2001 oleh kalangan perbankan nasional melalui kerjasama dengan Visa International. Nilai uang yang tersedia di e-wallet ditempatkan di suatu akun khusus oleh bank penerbit, hanya saja para penggunanya harus menggunakan sistem otorisasi online menggunakan PIN dan tanda tangan digital.
E-wallet ini merupakan sistem pembayaran prabayar dan multiguna yang dapat digunakan di manapun, baik nasional maupun internasional, sepanjang para penyedia layanan terkait dengan Visa Electron. Nilai uang di e-wallet ini akan terkurangi secara otomatis setiap melakukan pembayaran, dan dapat diisi kembali di konter-konter bank, melalui over booking , transfer antarbank melalui kliring atau ATM.
Sementara pada November 2004, PT Telkom telah memelopori sistem pembayaran berbasis elektronik digital melalui peluncuran alat bayar micropayment multi layanan dalam bentuk kartu prabayar I-VAS ( Internet Value Added Service ). Kartu I-VAS ditujukan untuk menjadi alat bayar micropayment dengan sistem prabayar atau voucher untuk berbagai layanan nilai tambah Internet, seperti konten Internet, konten digital, hingga layanan premium untuk browsing accelerator .
Jadi, i-VAS merupakan sistem micropayment yang dapat digunakan untuk transaksi-transaksi di internet dengan nilai nominal yang relatif kecil (di bawah Rp. 100 ribu), yang tidak mungkin atau tidak efektif jika menggunakan kartu kredit.
Hanya saja, Kepala Divisi Multimedia PT Telkom, yang saat itu dijabat oleh Septika N. Widyasrini, menegaskan bahwa kartu I-VAS dapat digunakan untuk menjadi cikal bakal platform bagi sistem micropayment dan e-business ritel di Indonesia. Sebagai contoh aplikasinya, pada saat itu Telkom bekerja sama dengan O2 Jam dan PT Anugerah Sentosa Telemedia Indonesia (penyedia konten gaming ) , sehingga memungkinkan para gamers dapat mengakses Internet dari mana saja dan melakukan pembayaran koneksi dan games online- nya.
Sedang layanan internet banking telah diinisiasi oleh bank-bank di Indonesia sejak pertengahan 1999. Saat ini, sejumlah bank-bank besar sudah memiliki layanan internet banking , baik bersifat informasi maupun transaksi. Sedang situs web, hampir semua bank telah memilikinya, yang umumnya digunakan sebagai bagian dari kegiatan promosi dan informasi mereka kepada para nasabah.
Saat ini, internet banking digunakan untuk transfer dana antar akun dalam satu bank yang sama, dan juga menyediakan informasi mengenai nilai tukar, bunga bank, informasi saldo dan transaksi, pembayaran (telepon, listrik, asuransi, dsb), membeli voucher ponsel, dan berbagai layanan lainnya. Penggunanya terus meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah pengguna Internet. Di sisi lain, para pengguna ponsel juga tak mau ketinggalan, karena bank juga menydiakan layanan SMS banking , yang juga memiliki fitur yang hampir sama dengan Internet banking .
Sementara, para operator telepon seluler, juga sudah menyediakan layanan pembelian pulsa melalui voucher prabayar, yang memungkinkan para pelanggannya mengisi ulang kartu SIM mereka melalui ATM, ponsel dan menggunakan kartu kredit, selain pembelian voucher yang selama ini sudah berjalan.
Sebenarnya, dengan sistem pembayaran mikro semacam ini, hal itu juga dapat digunakan untuk pembayaran lainnya, seperti pembayaran parkir, pembelian BBM, bayar tol dan sebagainya. Hanya saja sistem yang dibutuhkan harus memberikan lebih banyak kemudahan, dalam arti tak diperlukan sistem otorisasi atau pengisian PIN misalnya. Melainkan hal itu dapat dilakukan secara otomatis, misalnya dengan memanfaatkan teknologi RFID ( radio frequency identification ) atau teknologi radio lainnya.
Prinsip
Dalam konteks ini, Bank Indonesia, sebagai lembaga yang bertanggungjawab dalam mengatur penggunaan sistem pembayaran yang akan digunakan di Indonesia, secara regulasi berpegang pada sejumlah prinsip, antara lain: (i) tidak membatasi pertumbuhan dan berbagai inovasi mengenai layanan-layanan keuangan berbasis Internet, tetapi justru meningkatkan keuntungan penggunaannya; (ii) harus mampu memberikan perlindungan yang efektif terhadap masyarakat; (iii) juga harus terkait dengan berbagai aspek internasional, seperti perlindungan wilayah nasional, isu-isu lintas-batas, dan sebagainya; dan (iv) mendukung kebijakan anti pencucian uang ( anti-money laundering ), kerahasiaan bank dan anti monopoli.
Dengan begitu, inovasi dan penggunaan sistem pembayaran elektronik, online dan real-time, termasuk upaya menuju apa yang disebut sebagai cashless society tetap mengacu pada prinsip-prinsip tersebut. Artinya, diterapkannya sistem pembayaran yang baru, bukan saja sekedar mengikuri tren, melainkan mampu menjadi sistem pembayaran yang bermanfaat optimal, memberikan banyak kemudahan bagi para pihak yang terlibat, utamanya masyarakat, serta mendukung hak-hak privasi negara dan bangsa. Bukan malah membiarkan negara ini menjadi bagian dari kepentingan global tanpa batas, yang justru akan merugikan bangsa dalam jangka panjang.
elain itu, banyak kalangan merasakan perlunya prioritas penerapannya, dan mengantisipasi semua konsekuensi penerapannya, yang tidak hanya teknis operasional, melainkan juga sosial dan ekonomi, termasuk keamanannya.