Jika perbankan memiliki produk Mobile Banking, kini pelaku pasar modal pun tak mau ketinggalan. Mereka memiliki produk Mobile Trading. Namun, bukan di Bursa Efek Jakarta (BEJ) atau Bursa Efek Surabaya (BES). Mobile Trading ini baru berlaku di perusahaan sekuritas guna memudahkan para nasabah mereka.
Kalau di BEJ kita mengenal remote trading, sedangkan di BES ada online trading, dengan remote trading transaksi saham bisa lebih cepat dan mudah. Simpelnya, perusahaan efek tidak perlu lagi mondar-mandir menghubungi trader-nya yang bertugas di lantai bursa (trading floor). Mereka cukup melakukan order jual-beli dari kantor mereka sendiri, karena sistemnya sudah connect di sistem perdagangan BEJ atau isitilah yang berlaku adalah Jakarta Automated Trading System (JATS).
Dengan cara itu, perusahaan efek menjadi lebih efisien dari segi ongkos operasional. Soalnya, mereka tidak perlu lagi mengeluarkan dana untuk sewa tempat di lantai bursa.
Tidak itu saja. Banyak manfaat yang bisa di dapat dengan menggunakan remote trading. Namun sayang, tidak semua anggota bursa (AB) siap menerapkan ini. Umumnya mereka terkait dengan masalah modal investasi untuk teknologi dan kesiapan sistem yang dimiliki.
Kali pertama diterapkan remote trading pada 28 Maret 2002, baru 5 saham yang diperdagangkan, yakni PT. Evershine Textile Industri (ESTI), PT. Hero Supermarket (HERO), PT. Panorama Sentrawisata (PANR), PT. Mulia Industrindo (MLIA), dan PT. Rimo Catur Lestari (RIMO).
Kini, seluruh saham di BEJ sudah menggunakan remote trading. Anggota bursa yang menerapkan ini pun kian bertambah, bahkan transaksinya meningkat seiring dengan volume penjualan via remote trading.
Konon, jika semua anggota bursa telah menerapkan remote trading, di dukung infrastruktur teknologi yang canggih, BEJ akan masuk ke babak berikutnya: Online Trading.
Online trading untuk B2B
Sistem online trading sebenarnya sudah diterapkan di BES, namun karena rendahnya likuiditas perdagangan di BES, maka manfaat yang muncul dari fasilitas teknologi tersebut kurang tampak.
Kalau saja itu diterapkan di BEJ yang likuiditas perdagangannya lebih baik, tentu hasilnya juga akan jauh berbeda. Apalagi anggota bursa yang ada di BEJ jauh lebih banyak ketimbang BES, sehingga jika online trading diterapkan maka potensi penetrasi menggali dana masyarakat bisa lebih luas lagi.
“Awalnya ada 5 anggota bursa yang menerapkan online trading, sekarang berkurang menjadi 3. Ini karena kondisi pasar modalnya saja yang kurang gairah”, ujar Chandra Widiansjah, Head of Information Technology Division Bursa Efek Surabaya kepada eBizzAsia belum lama ini.
Dikatakan Chandra, penerapan online trading di BES sebenarnya dalam rangka Business to Business (B2B), di mana bisnisnya itu di handle oleh perusahaan sekuritas. Aplikasinya sendiri menggunakan pola massanging system yang sudah diuji coba di dunia. Hingga akhirnya berubah ke fixed protocol sebagai basic massanging formatnya.
“Kebetulan ada yang unik di fixed protocol ini, di mana secara de facto sudah banyak digunakan di market industri sebagai trading massanging system”, jelasnya.
Salah satu alasan menggunakan fixed protocal, masih kata Chandra, adalah karena public domain. Artinya, tidak dimiliki oleh suatu institusi market manapun, tetapi tetap ada di suatu komunitas yang mengkontrol itu.
Selain itu, sudah banyak penyedia jasa aplikasi yang jalan di format ini. Fixed protocol tidak hanya menyediakan pada level massanging system saja, tapi hingga level fixed network.
Dalam fixed network ini, terdapat komunitas-komunitas pasar modal, seperti bursa, lembaga studi, dan lembaga pembayarannya. Mereka semua berinteraksi secara B2B. Kedepannya BES akan diarahkan ke sana.
Menurut Chandra, online trading di BES merupakan bagian dari skenario jangka panjang dari yang namanya STP (Street Treat Processing). Jadi proses transaksi bisa dari satu sektor. Artinya, kalau sekarang B2B sudah sampai pada level bursa, maka bursa hanya front office-nya saja. Kedepannya B2B juga masuk ke lembaga kliring dan penjaminan, sehingga mereka bisa melakukan proses “rating” untuk kemudian masuk ke lembaga penyelesaian.
“Nah, kalau semuanya sudah dilakukan secara B2B, apalagi Bank Indonesia (BI) sudah mendukung real time gross, Anda transaksi hari ini, besok uangnya sudah bisa di terima”, tegasnya.
Online trading di BES sendiri merupakan perkembangan dari yang sudah pernah dilakukan, yaitu remote trading dengan model terminal basic, di mana masing-masing anggota bursa memiliki terminalnya.
BES tidak menyediakan suatu homepage khusus untuk melakukan transaksi secara langsung. Pihaknya menunjuk ISP (Internet Services Provider) yang sudah di audit dan paham terhadap peraturan-peraturan pasar modal.
Dalam hal ini, BES merekomendasikan PT. Limas Stockhomindo Tbk dan PT. Lantas Sempurna sebagai ISP. Menggunakan ISP ini juga atas inisiatif dari para anggota bursa. Pasalnya, kalau ada anggota bursa yang kurang memiliki tenaga ahli di bidang teknologi informasi (TI), mereka bisa juga menggunakan tenaga ISP.
Namun, untuk proses jual-belinya tetap ada di BES. ISP hanya menyediakan aplikasi agar anggota bursa bisa melakukan transaksi lewat terminal online.
Mobile trading sebatas informasi
Limas Stockhomindo Tbk menyediakan terminal online ini melalui stockwatch, yaitu suatu aplikasi yang menampilkan pergerakan jual-beli sahan di BES dan BEJ secara real time.
Dengan versi 2.6, stockwatch ini juga menampilkan merger indikator dan informasi keuangan terkini secara real time. Bahkan, untuk pasar retail, Limas juga meluncurkan stockwatch retail dalam bentuk CD rom.
“Tidak perlu instal ke PC, tinggal downlod saja. Yang penting ada jaringan Internet, isinya akan sama dengan terminal online”, kata Dwi Tio, Corporate Secretary PT. Limas Stockhomindo Tbk.
Tidak itu saja. Aplikasi stockwatch itu kini di transfer ke dalam teknologi mobile. Jadi, nasabah bisa melihat pergerakkan harga saham melalui handphone (HP).
“Tapi untuk jual-beli saham masih melalui broker di bursa. Kita hanya menyediakan fasilitasnya saja”, tambah Widiakso Suyata, Sales Manager, PT. Limas Stockhomindo Tbk.
Hingga saat ini, sudah ada beberapa perusahaan sekuritas yang menerapkan mobile trading. Sebut saja Sarijaya Securities. Berkerjasama dengan Limas Stockhomindo, pihaknya meluncurkan produk SP Mobile Trade.
“Ini idenya dari kita. Mereka hanya menyediakan fasilitas saja. Data itu kita masukan ke server untuk kemudian dirubah informasinya dalam bentuk WML (Wireless Mark-up Language)”, ujar Hortono Setiowijoso, Information Technology Departement, Sarijaya Sekurities.
Sejauh ini, informasi yang di terima nasabah melalui ponsel meliputi harga saham yang mencapai top gainer dan top losser, stock buyer dan stock seller. Salain itu, ada juga sektoral indeks yang terdiri dari agriculture dan pertambangan.
“Itu sudah tersedia di HP. Termasuk currency. Juga ada index future seperti Hanseng, Nikei. Bahkan, yang baru dikeluarkan pemerintah seperti T-Bond dan T-Bills juga ada. Nasabah tinggal connect saja ke tempat kita”, ujar Tamin, panggilan akrab Hartono Setiowijoso kepada eBizzAsia beberapa waktu lalu.
Namun, tambah Tamin, mobile trading ini hanya sebatas informasi saja, tidak sampai pada jual-beli saham. Soalnya, banyak faktor yang mempengaruhi, seperti lesunya perdagangan saham, dan kebiasaan user menggunakan handset sebagai sarana untuk mengganti komputer dalam melakukan transaksi.
Selain itu, seperti dikatakan Dewi Tio, sesuai dengan peraturan Bapepam dan BEJ, yang melakukan jual-beli saham itu harus perusahaan sekurities. “Kalau sekarang ada yang namanya mobile trading atau terminal stockwatch, itu hanya fasilitas saja bagi pelaku pasar untuk mendapatkan informasi”, tegas Dewi Tio kepada eBizzAsia seraya memperlihatkan terminal stockwatch di kantornya di Plaza Mandiri jalan Sudirman Jakarta.
Namun, bukan tidak mungkin. Di negara-negara maju, pasar modal ibarat perbankan saat ini. Perbankan saja bisa mengaplikasikan mobile banking. Masak pasar modal tidak bisa diarahkan kesana. Ya, kita lihat saja realisasinya. Semoga terwujud.•••