SPECIAL COVERAGE

Cyberlaw; Antara Platform Baru dan Peluang Investasi

Cyberlaw; Antara Platform Baru dan Peluang Investasi

Kehadiran undang-undang yang jelas menyangkut dunia maya dirasakan sangat penting bagi Indonesia. Akankah RUU ITE mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut?

Pengguna internet di Indonesia sebenarnya berjumlah cukup besar. Namun, bila angka itu dibandingkan dengan total populasi yang mencapai 207 jiwa, maka diperoleh angka kurang dari 2% penduduk Indonesia yang menggunakan internet. Angka nisbi itu kian kecil lagi kalau kita mau mengulas soal kepemilikan komputer di masyarakat kita.

Relatif rendahnya prosentase ini tidak berarti, lantas kita tidak membutuhkan kehadiran cyberlaw atau cyberlex. Cyberlaw sendiri merupakan pengertian umum yang mengacu pada aspek regulasi dan perundangan dari TI dalam cyber space. Jadi, cyberlaw bisa dikatakan tidak berdiri sendiri karena merupakan kumpulan regulasi dan perundang-undangan. 

Paling tidak, Indonesia sudah berhasil mengatur masalah HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) beberapa waktu lalu. Namun undang-undang tersebut berfokus pada persoalan perlindungan kekayaan intelektual saja. Ini terkait dengan persoalan tingginya kasus pembajakan piranti lunak di negeri ini. Kehadiran UU tersebut tentu tidak lepas dari desakan negara-negara produsen piranti lunak itu berasal.

Terlepas dari masalah itu, sebenarnya kehadiran cyberlaw yang langsung memfasilitasi eCommerce, eGovernment dan cybercrime sudah sangat diperlukan. Menurut Yappi Manafe, Asisten Deputi Urusan Perundangan Telematika pada Kementerian Komunikasi dan Informasi, ketiga materi tersebut dicakup dalam RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pengakomodasian ketiga materi tersebut dirasakan sudah sangat mendesak mengingat persoalan ketiganya memang sudah muncul dalam kehidupan secara nyata. 

Memang terkesan bahwa pemerintah terlihat sangat lamban dalam bertindak. Namun, secara mendasar memang harus dikatakan pengaturan secara legal-formal baru bisa dilakukan bila fenomena yang ada sudah muncul. Kalau tidak, “Apa yang harus diatur?” tanya Manafe. Dua persoalan berikutnya yang juga mendasar adalah “Mengapa harus diatur?” dan “Bagaimana pengaturannya?” Tanpa menjawab ketiga persoalan mendasar tersebut, maka sulit untuk bisa melakukan pengaturan secara legal-formal.

Informasi sebagai Bukti di Pengadilan
Sebenarnya secara nyata sebelum RUU ITE, dunia hukum Indonesia sudah menelurkan preseden dan upaya penegakan hukum dengan mempergunakan regulasi yang sudah ada. Masih ingat tentang peradilan Akbar Tanjung yang mempergunakan fasilitas life conference ketika menghadirkan mantan Presiden BJ Habibie yang sedang berada di Jerman. Ini merupakan preseden cerdas yang hadir dari seorang hakim berkualitas. Namun preseden ini dinyatakan tidak berlaku dalam peradilan lainnya dengan hakim yang berbeda. Hakim dalam peradilan tersebut menginginkan kehadiran saksi secara fisik, seperti diatur dalam kitab hukum pidana.

Dua preseden yang bertolak belakang ini tentu bisa terjadi karena interpretasi yang berbeda dari pandangan dua hakim yang berbeda. Namun itu bisa menjadi pertanda bahwa adanya urgensi yang sangat besar dan mendesak bagi pengaturan secara legal-formal. Apalagi sejumlah peradilan telah menjatuhkan vonis hukuman bagi pelaku yang melakukan tindak pidana dalam penyalah gunaan kartu kredit (carding) dengan menggunakan kitab hukum konvensional.

Peradilan atas kejahatan ini sebenarnya sudah mengangkat informasi elektronik dan cukup dapat dianggap sebagai bukti materi yang sah dalam sebuah proses peradilan. Namun berjalan di atas papan yang berlobang-lobang tentu sangatlah tidak nyaman, sehingga perlu disediakan suatu platform baru  yang lebih bisa mengakomodir kebutuhan semacam itu.

Bukan Obat Mujarab Tapi Platform Baru
Teddy Sukardi, Presiden Federasi Teknologi Informasi Indonesia, mengungkapkan bahwa kehadiran RUU ITE seharusnya dipandang sebagai pembentukan platform yang bisa menyepahamkan persoalan yang dihadapi. “Selama ini tidak ada sebuah platform yang memberikan aturan main dalam masalah tersebut”, akunya. Itu sebabnya ia sangat optimis dengan RUU ini, sekalipun ia mengatakan bahwa memang RUU ini bukan merupakan obat mujarab bagi semua penyakit yang ada.

Teddy menunjukkan bahwa dari sebuah penelitian, Indonesia menempati urutan ke 14 dari 16 negara Asia yang disurvei. Indonesia bahkan kalah menarik sebagai tempat berinvestasi dan berbisnis dibanding Srilanka yang baru saja mengakhiri perang saudaranya. Salah satu penyebabnya adalah Indonesia tidak memiliki cyberlaw, seperti negara-negara tetangga: Malaysia dan Singapura.

Dalam konteks perdagangan dan perekonomian global, pebisnis Indonesia, mau tidak mau dan suka tidak suka, menggunakan dan memanfaatkan eCommerce. Tentunya masalah ini menyangkut pula masalah transfer elektronik. Mitra dagang dan bisnis Indonesia tentu merasa tidak nyaman karena merasa tidak terlindungi akibat ketidak-adaan cyberlaw. Perlu diingat sejak pecahnya gelembung perekonomian nasional, sejumlah pebisnis merasakan kian sulitnya pembayaran lewat kartu kredit yang diterbitkan di Indonesia.

Itu sebabnya, baik Teddy maupun Manafe melihat bahwa dengan hadirnya RUU ITE bukan hanya bisa mengeliminir kesulitan semacam itu. Tapi juga bisa mendongkrak kepercayaan masyarakat bisnis internasional, sambil juga menumbuhkan peluang dalam memacu perekonomian nasional berlaga di pasar global.

Main Dulu, Aturan Belakangan
Sebenarnya persoalan transaksi elektronik juga sudah menjadi persoalan dalam negeri. Sejak diperkenalkannya sistem pembayaran ini, boleh dibilang tidak ada satupun regulasi yang memberikan landasan hukum dan aturan main. Sejak awal tahun 90-an lalu, masyarakat kita sudah mulai mengenal transaksi secara elektronik. Ini dimulai dari dikenalkannya ATM dan phone banking. Menyusul, Internet banking dan mobile banking. Celakanya, transaksi semacam ini tidak diberikan aturan mainnya. “Padahal transaksi semacam ini terjadi karena kepercayaan konsumen,” jelas Manafe.

Kondisi semacam ini bisa merugikan konsumen perbankan, terutama jika masalah timbul. Kebanyakan konsumen perbankan justru berada pada posisi yang sangat lemah. “Lembaga peradilan umumnya masih belum bisa menerima slip kartu ATM sebagai bukti materi yang sah menurut hukum pidana,” ujar Teddy. Itu sebabnya, dalam RUU ITE diatur bahwa informasi yang terdapat dalam slip yang diterima konsumen ATM bisa digunakan sebagai bukti yang sah dalam peradilan.

Selain itu juga diatur bahwa  pihak yang memberikan wewenang kepada electronic agent, seperti ATM  dan cellular phone yang digunakan dalam transaksi elektronik, memiliki tanggung jawab penuh. Hal ini juga berlaku dalam Internet banking atau transaksi elektronik yang menggunakan internet sebagai mediumnya.

Sebenarnya, Bank Indonesia sebagai bank sentral sudah merasakan adanya kebutuhan untuk menerbitkan regulasi yang mengatur transaksi elektronik. Mohamad Ishak, Direktur Akuntansi dan Sistem Pembayaran BI, mengungkapkan bahwa pihaknya sedang merumuskan regulasi yang khusus mengatur masalah tersebut. Keinginan pihak BI ternyata juga memperoleh sambutan positip dari Kementerian Kominfo. Menurut Manafe, pihak Kominfo sangat mendukung itu bahkan telah beberapa kali melakukan pertemuan guna membahas rancangannya agar tidak tumpang tindih dengan RUU ITE dalam pengaturannya.

Kepastian Hukum
Menurut Manafe, kepastian hukum merupakan salah satu asas yang dianut dalam RUU ITE. Asas lainnya yang terkadung dalam RUU itu adalah manfaat, sikap kehati-hatian, itikad baik, dan netralitas teknologi. Sebagaimana undang-undang layaknya, RUU ini mengatur hal-hal pokok dan aspek-aspek yang terkait dengan pemanfaatan TI, khususnya pengelolaan informasi elektronik dan transaksi elektronik.

Karenanya, RUU ini mencakup berbagai aspek, mulai dari informasi elektronik, penyelenggaraan sistem elektronik, transaksi elektronik, tanda tangan elektronik, penyelenggara tanda tangan elektronik, akses ke sistem dan jaringan komputer, nama domain, dan perlindungan terhadap informasi dalam komputer serta sistem komputer. RUU juga mengatur aspek-aspek yang belum diatur dalam HaKI, seperti desain situs dan karya intelektual yang ada di dalamnya. Perlindungan juga diberikan atas hak-hak pribadi (privacy). Sehingga penggunaan setiap informasi melalui media elektronik, yang menyangkut data tentang hak pribadi seseorang harus memperoleh persetujuan pemiliknya.

Selain itu, diatur juga tentang penyelesaian sengketa. Ini mencakup gugatan perdata, tata cara melakukan gugatan itu, pengadilan yang memprosesnya, upaya hukum, arbitrase, dan penyelesaian di luar pengadilan (Alternative Dispute Resolution – ADR) yang bisa berupa negoisasi, mediasi dan konsiliasi.

Yang baru dalam khasanah hukum di Indonesia adalah karena RUU ini menganut asas ekstra teritorial. Artinya, UU ini juga berlaku bagi setiap orang yang berada di luar Indonesia yang melakukan tindak pidana seperti yang diatur dalam RUU ini yang akibatnya merugikan untuk pihak-pihak yang berada di Indonesia.

Ketentuan Pidana untuk Cybercrime
Selain memuat ketentuan gugatan perdata, RUU ini juga mencakup ketentuan pidana. Ketentuan yang dimaksud meliputi kategori penyalahgunaan komputer, seperti larangan akses ke komputer dan sistem komputer tanpa hak dan berbagai aspek cybercrime.

Menurut Teddy, cybercrime yang dimaksud sekalipun didetilkan namun masih merupakan mengatur masalah yang paling pokok. Sementara Manafe membeberkan bahwa cybercrime yang diatur mencakup carding, spy, mailbomb, e-mail palsu, penyebaran virus, rerouting, penyadapan informasi, perusakan dan penghancuran informasi, hacking, EPER serta intruder. “Kalau bisa dicegah mulai dari adanya niatan buruk,” jelasnya.

Keduanya berharap bahwa bukan hanya kepastian hukum yang bisa ditumbuhkan dengan kehadiran RUU ini. Sekalipun, Manafe masih sangat concern terhadap persoalan penegakan hukumnya di kemudian hari. Tapi keduanya juga berharap tumbuhnya peluang bisnis baru yang bisa didongkrak melalui kepastian hukum tersebut. Hanya saja, perjalanan dari RUU menjadi UU masih lumayan jauh. Diharapkan dalam waktu dekat sudah bisa dibahas oleh DPR, sehingga awal tahun 2004 Indonesia sudah memiliki UU ITE.•••

Related Articles

Perubahan Demografi dan Arah Bisnis TI

Perubahan Demografi dan Arah Bisnis TI

Meng-Klik Dokter dari Rumah

Meng-Klik Dokter dari Rumah

Evolusi eBusiness dan Peran Teknologi Standar

Evolusi eBusiness dan Peran Teknologi Standar

GLOBAL TECHNOLOGY GROUP
PT Global Trimitra Mandiri
PT Global Tricitra Moderniti
PT Citra Media Prima

e-mail: halo(@)ebizzasia.com

Magazine

Visitor Counter

000052157709
Today: 7
This Week: 22
This Month: 224
Last Year: 520
Total: 52,157,709
  • Monday - Friday : 08.00 - 17.00 WIB