Impian Kovergensi
Itu pula yang terjadi di dunia komunikasi digital. Para pengguna masih mengangankan satu solusi peranti lunak, yang sanggup mengombinasikan VoIP, e-mail, instant messaging , kolaborasi, alur dokumen dan web conferencing , dan menyajikan semuanya ke dalam satu antarmuka pengguna tunggal. Bahkan, isu itu tetap menjadi perbincangan menarik selama dua dekade belakangan ini.
Ada banyak alasan mengapa ide komunikasi terkonvergensi menjadi sesuatu yang tak pernah pudar. Salah satu pendorongnya adalah mobilitas yang semakin tinggi di kalangan perusahaan. Seperti pernah digambarkan Mick Regan, solution architect , Nortel, beberapa waktu lalu di Jakarta, saat ini kecenderungan yang berlaku di sejumlah perusahaan adalah ruang kantor yang semakin “kosong”, karena karyawannya mobile dan tersebar di mana-mana.
“Hal ini tentunya akan menyulitkan karyawan untuk bisa berkolaborasi dengan mudah,” ujarnya. Sementara itu, kemacetan lalu lintas, masalah travel cost, naiknya harga BBM, sedikit banyak membuat karyawan “enggan” datang ke kantor, dan lebih memilih menjadi teleworker .
Di sisi lain, persaingan bisnis pun semakin ketat, dimana komunikasi sangat pentingl. “Bisa Anda bayangkan ketika perusahaan harus kehilangan peluang bisnis hanya karena contact person -nya sulit atau tidak bisa dihubungi,” timpal Regan.
Sayangnya, mobilitas yang ada sekarang ini masih mencerminkan dunia yang terfragmentasi. Dunia yang terdiri dari berbagai jenis peranti, nomor telepon, mail-box, prosedur sekuriti, antarmuka yang kaku, dan berbagai aplikasi komunikasi, seperti teleponi, Instant Messaging (IM) dan conferencing . Diperparah lagi dengan semakin beragamnya peranti bergerak, mulai dari smartphone, PDA sampai notebook, yang berjalan di atas berbagai jenis sistem operasi.
Tak pelak, solusi komunikasi terpadu, yang tidak bergantung pada moda komunikasi maupun perangkat komunikasinya, dan mendukung kontinuitas bisnis sangat dibutuhkan. Para salespeople misalnya, bisa membuka emailnya tanpa harus datang ke kantor, cukup mengaksesnya melalui ponsel atau PDA. Para product engineer tentu ingin berkolaborasi dengan tim marketing dan sales yang lokasinya berjauhan. Sementara para manajer tentunya sangat mendambakan bisa berkomunikasi dan mengetahui keberadaan para bawahannya melalui teknologi presence awareness.
Tak hanya itu. Para pengelola TI, yang mewujudkan seluruh kemudahan komunikasi itu kepada para end-user pun memiliki impiannya sendiri. Mereka mendambakan sebuah aplikasi peranti lunak tunggal, harga yang terjangkau, mudah mengelola dan mengintegrasikannya, yang sanggup memenuhi seluruh kebutuhan komunikasi perusahaan. Cukup mengelola satu jaringan untuk suara, data dan video, daripada harus memiliki tiga jenis jaringan, begitu mungkin kata mereka.
Nah, hal semacam itulah yang dijanjikan sebuah sistem unified communications (UC) . Biayanya lebih murah dan produktivitasnya lebih tinggi. Setidaknya, itulah yang harus Anda yakini sampai saat ini. Meski, dalam praktiknya, platform yang terkonvergensi penuh belum sepenuhnya terwujud. Alternatif lainnya, pendekatan yang tambal sulam (menggunakan aplikasi yang terpisah-pisah) untuk meraih fungsionalitas yang sama. Namun, hal itu hanya akan akan menambah biaya dan kompleksitas jaringan.
Untuk saat ini, pasar UC belum sungguh-sungguh terwujud. Tak satu pun vendor, yang menawarkan seuatu aplikasi yang mencakupi seluruh fitur messaging dan komunikasi, yang idealnya dikemas dalam satu sistem terpadu. Tak jarang, hal itu memaksa perusahaan melakukan pendekatan gado-gado, membeli lebih dari satu aplikasi, yang ujung-ujungnya hanya akan menambah biaya dan kompleksitas jaringannya.
Seperti dipaparkan CIO Insight, pengalaman semacam itu dirasakan oleh Ephraim Cohen, co-owner Fortex Group LLC , yang mengelola sebuah perusahaan kecil yang bergerak di bidang marketing dan public relations dan berbasis di New York. Ketika perusahaan itu pertama kali beroperasi tahun 2003 lalu, Fortex sempat menggunakan layanan e-mail dan instant messaging gratis yang disediakan Yahoo! Sejalan dengan perkembangan usaha, Fortex membutuhkan aplikasi yang lebih aman dan customizable. Cohen pun mulai mencari-cari aplikasi yang cocok.
Namun, tidak ada satupun vendor yang menyediakan solusi all-in-one . Lagipula, sebagian besar aplikasi yang dilirik Cohen dirasakan terlalu mahal bagi perusahaan debutan semacam Fortex. Tapi, akhirnya, Cohen memilih pendekatan aplikasi yang terpisah-pisah. Untuk aplikasi e-mail dan calendaring ia memilih solusi BlueTie Inc. Aplikasi VoIP-nya disediakan oleh Teleo Inc. Sementara solusi dari Trillion Digital Communications Inc. dipilih untuk aplikasi instant messaging . Menurut Cohen, masing-masing perangkat tersebut berjalan dengan baik. “Tapi kalau ada satu aplikasi yang bisa menjalankan seluruh fungsi itu dengan murah, kami akan memilihnya,” ujar Cohen berharap.
Di sisi lain, ketiadaan satu solusi yang lengkap menyebabkan upaya mengintegrasikan satu aplikasi satu dengan yang lain, maupun dengan sistem yang sudah ada bisa jadi berujung pada kesulitan lebih dari yang bisa diantisipasi perusahaan. Kesulitan semacam itu dijumpai sebuah firma hukum yang bermarkas di Minneapolis, AS, yakni Leonard, Street and Deinard. Ketika sistem PABX yang dimilikinya sudah tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan bisnisnya, firma itupun melirik solusi berbasis jejaring IP. Perusahaan ini menggandeng Avaya Inc. untuk membantunya membangun platform messaging yang meliputi VoIP, calendaring dan Web conferencing .
Menurut analis telekomunikasi perusahaan itu, Carol Reitzel, sistem tersebut bisa terhubung mulus dengan program e-mail Microsoft Outlook yang digelarnya. Meski demikian, untuk aplikasi lainnya, integrasinya lebih sulit. Sistem yang dimilikinya justru menambah kompleksitas, karena harus benar-benar terpadu dengan sejumlah aplikasi lainnya. Ia menyontohkan, perusahaan itu melacak seluruh komunikasi teleponnya melalui sebuah billing program buatan Equitrac, namun pada awalnya program ini “ogah” bekerjasama dengan peranti lunak Avaya. Dibutuhkan waktu cukup lama untuk membuat kedua sistem itu mau bekerjasama dan berfungsi dengan baik.
Selain itu, membangun sebuah unified communications tidaklah murah. Setidaknya, itulah yang dialami firma hukum tersebut. Dengan pengguna 450 orang, perusahaan ini merogoh kocek 1 juta dolar AS untuk rollout tahap awal, meliputi biaya konsultasi, instalasi, dan integrasi. Tak hanya itu, biaya untuk memelihara sistem baru ini pun lebih mahal 3 persen ketimbang yang lama.
Meski begitu, toh para pengguna, yang sebagian besar pengacara itu begitu menyukai sistem itu, aku Reitzel. Untuk berhalo-halo ria melalui VoIP, di firma yang memiliki lima kantor dengan 190-an pengacara di Minnesota maupun Washington DC, semuanya cukup menekan tombol extension empat digit. Telepon yang berdering di meja seorang pengacara otomatis juga berdering di handphone nya. Tak hanya itu, voice mail pun bisa dicek melalui e-mail inbox. Rietzel pun mengklaim bahwa meski mahal, kolaborasi yang disajikan sistem tersebut membuat pengeluaran yang dilakukannya cukup sepadan.
Sampai tahun 2010, para analis industri TI memperkirakan akan lebih banyak terjadi kerjasama antar vendor untuk memecahkan masalah interoperabilitas antar peranti komunikasi ini. Hal itu juga terbantu dengan semakin luas diterapkannya standar SIP ( Session Initiation Protocol ) untuk IP telephony, IM maupun solusi presence awareness .
Tentunya, ini akan mempermudah integrasi dan membantu perusahaan memperluas kapabilitas messaging dan komunikasinya di luar firewall . Nantinya, sebuah perusahaan bisa menggunakan sistem komunikasi internalnya untuk memasukkan partner offshoring -nya ke dalam alurkerja dokumen, atau berkolaborasi dengan pihak ketiga dalam sebuah proyek. Menurut Erica Rugullies, analis senior Forrester Research , standarisasi itu akan sangat membantu dalam memuluskan interoperabilitas, namun saat ini hal itu masih menjadi halangan.
Menurut dia, saat ini pasar masih sangat terfragmentasi, dengan masih banyaknya vendor-vendor kecil yang lebih tertarik untuk meraup pangsa pasar dengan menambahkan polesan-polesan terhadap produk yang sudah ditawarkannya. Misalnya, sebuah vendor solusi web conferencing mungkin akan menambahkan IM dan presence services ke paket peranti lunaknya. Dan hanya segelintir dari aplikasi-aplikasi tersebut yang saat ini juga memasukkan VoIP. Adanya standar, setidaknya akan mempermudah perusahaan untuk menghubungkan berbagai peranti yang terpisah buatan berbagai vendor.
Yang penting, perusahaan sudah harus mulai berpikir ke depan dan mengevaluasi bagimana memanfaatkan peranti baru itu, khususnya ketika perusahaan mulai banyak menggunakan VoIP. Tapi untuk sekarang, converged network sejati memang belum sepenuhnya terwujud. Namun, setidaknya para pengguna tidak bakal menunggu terlalu lama, seperti yang dialami para fisikawan dengan pencarian Grand Unified Theory -nya. •••